JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai pemberhentian Hakim Konstitusi, Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melanggar hukum dan mengganggu independensi peradilan.
Pasalnya, DPR tidak memiliki wewenang untuk memecat hakim konstitusi. Apalagi alasan utama DPR mengganti Aswanto adalah karena ia banyak menganulir UU yang dibuat oleh DPR, sementara Aswanto dulunya berasal dari DPR.
"Problema pemberhentian paksa hakim konstitusi Aswanto yang kita tahu ini adalah salah satu bagian dari cara penguasa untuk ganggu independensi peradilan," kata Peneliti PSHK, Agil Oktaryal dalam diskusi media di Jakarta, Senin (3/10/2022).
Baca juga: Ketika Mantan Hakim MK Lawan Balik DPR Usai Aswanto Dicopot
Menurut Agil, aksi anulir yang dilakukan Aswanto justru bukti bahwa ia melakukan pekerjaannya dengan baik. Ketika terdapat UU yang tidak sesuai dengan konstitusi negara atau UUD 1945, ia lantas menganulir UU tersebut.
Ia menilai, pemberhentian yang dilakukan DPR kepada Aswanto ini cacat, karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan.
Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan, hakim konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut UU, mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun, atau tidak lebih dari 15 tahun selama keseluruhan masa tugasnya.
Baca juga: Aswanto Dicopot DPR Gara-gara Batalkan UU, Jimly: Hakim MK Bukan Orang DPR
Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks masa jabatan Aswanto, seharusnya ia mengakhiri masa tugas pada 21 Maret 2029 atau setidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.
"UU itu pun diperkuat dalam Putusan MK 96/2020 yang menyatakan bahwa pasal 89 itu konstitusional dan bisa diterapkan untuk hakim yang menjabat sekarang," tutur Agil.
Agil menjabarkan, sejatinya pemberhentian hakim konstitusi mempunyai dua jalur, yaitu pemberhetian secara hormat dan secara tidak hormat.
Pemberhentian hormat diberikan ketika hakim konstitusi meninggal dunia, habis masa jabatan karena sudah berusia 70 tahun, meninggal dunia, atau sakit keras berturut-turut selama 3 bulan sehingga tidak bisa melaksanakan kewenangannya.
Baca juga: Jimly Sebut Sekjen MK Dipanggil DPR Mendadak untuk Fit and Propet Test Gantikan Aswanto
Sementara pemberhentian tidak hormat diputuskan jika hakim konstitusi melanggar hukum, melanggar kode etik atau pun kode etik berat, dan melakukan perbuatan tercela. Namun, dua jalur ini tidak dilewati oleh Aswanto.
Adapun ketika diberhentikan secara tidak hormat, prosesnya harus dilalui di Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK). Dalam prosesnya, hakim diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
"Kalau pun nanti dia diputus bersalah dan akan dipecat secara tidak hormat, yang akan memecatnya itu adalah MK sendiri berdasarkan hasil dari MKHK (bukan DPR). Dan itu diteruskan kepada Presiden untuk dikeluarkan Keppres," jelas Agil.
Sedangkan Aswanto menurut Agil, tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum, tidak melanggar kode etik yang bersifat berat. Justru dengan menganulir UU yang inskonstitusional, ia melakukan pekerjaannya.
Baca juga: Polemik Pencopotan Aswanto dari Hakim Konstitusi
"Kalau kita lihat dari dua proses yang ada, satu pun tidak dilewati dalam proses pemberhentian HK Aswanto. Kalau kita tahu dia membatalkan atau bahkan tidak setuju dengan UU Cipta Kerja, artinya dia dalam hal menegakkan konstitusi itu sendiri," jelas Agil.
Sebelumnya diberitakan, Hakim Konstitusi Aswanto diberhentikan oleh DPR. Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah yang merupakan Sekretaris Jenderal MK. Pengangkatan Guntur sendiri dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, menyebut kinerja Aswanto mengecewakan. Menurut dia, Aswanto terlalu banyak membatalkan produk legislasi DPR. Itu sebabnya Aswanto dicopot dari jabatannya.
Bambang Wuryanto juga menganalogikan hubungan antara hakim konstitusi dan DPR seperti hubungan antara direksi perusahaan dan pemilik perusahaan. Selaku pemilik perusahaan, DPR berhak mengendalikan hakim MK.
Baca juga: Sepak Terjang Aswanto, Hakim MK yang Tiba-tiba Dicopot DPR
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," tutur Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.