Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Permohonan Turunkan "Presidential Threshold" Ditolak MK, PKS: Kami Pahami Ketidakberanian MK

Kompas.com - 30/09/2022, 16:43 WIB
Tatang Guritno,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum dan Advokasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zainudin Paru tak puas dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelumnya, MK menolak permohonan judicial review atas presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden yang diajukan PKS, dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

“Kami memahami ketidakberanian MK untuk mengabulkan perkara ini karena tentu akan terjadi perubahan yang besar atau melawan kekuatan yang besar,” kata Zainudin Paru pada Kompas.com, Jumat (30/9/2022).

Ia menilai MK bersikap tertutup karena tak memberi kesempatan pada PKS untuk melakukan pembuktian.

“Sehingga langsung buru-buru diputuskan pasca sidang pemeriksaan pendahuluan,” ujarnya.

Baca juga: Uji Materi Presidential Threshold Ditolak MK, PKS Bakal Berjuang Melalui Revisi UU Pemilu

Menurutnya, MK tak melihat bahwa persoalan tingginya angka ambang batas pencalonan presiden menjadi perhatian banyak pihak.

Zainudin Paru mengatakan, hingga kini sudah ada 67 penggugat uji materi presidential threshold.

“Sayangnya, sebagaimana dengan kami, mereka tidak diberikan kesempatan dan ruang yang luas untuk menjelaskan dan membuktikan gagasannya,” katanya.

Terakhir, Zainudin Paru mengaku tak akan berhenti memperjuangkan penurunan angka PT melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Kami sudah mencatat banyak aspirasi masyarakat yang ingin mendiskusikan kembali angka PT 20 persen,” katanya.

“Kami akan tetap memperjuangkan ini melalui revisi UU Pemilu terkait angka PT 20 persen yang berbekal dukungan masyarakat yang kami peroleh,” ujanya lagi.

Baca juga: Tolak Permohonan PKS untuk Turunkan Presidential Threshold, Ini Alasan MK

Diberitakan sebelumnya, MK menolak keseluruhan permohonan PKS terkait angka presidential threshold.

Alasannya, ketentuan itu merupakan bagian dari kebijakan politik sehingga MK tak punya kewenangan mengubah besaran angka tersebut.

Hakim MK Enny Nurbaningsih menjelaskan perubahan besaran angka presidential threshold menjadi tanggung jawab pembuat undang-undang yakni DPR dan Presiden.

Sementara itu, PKS meminta angka presidential threshold diturunkan menjadi 7 hingga 9 persen.

Baca juga: Nasdem Buka-bukaan Kenapa Belum Putuskan Koalisi dengan Demokrat-PKS, Belum Sepakat soal Paslon

PKS menilai ketentuan saat ini membatasi jumlah pasangan calon (paslon) calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Diketahui, berdasarkan ketentuan UU Pemilu, parpol atau gabungan parpol bisa mengusung capres-cawapresnya sendiri jika memiliki 20 persen kursi di DPR RI atau memperoleh 25 persen total suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut hanya PDI-P yang bisa mengusung paslonnya sendiri pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Parpol pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tak perlu membentuk koalisi untuk mengusung kandidat capres-cawapresnya.

Baca juga: PKS Sebut Tak Diberi Ruang Pembuktian oleh MK soal Uji Materi Presidential Threshold

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa 'Abuse of Power'

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa "Abuse of Power"

Nasional
PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Nasional
Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Nasional
Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Nasional
Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Nasional
Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Nasional
Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Nasional
Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Nasional
Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Nasional
Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com