Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Hakim "Concurring Opinion" terhadap Putusan MK Terkait Gugatan PKS soal "Presidential Threshold"

Kompas.com - 29/09/2022, 22:27 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold atau PT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Permohonan uji materi itu sebelumnya diajukan oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan jajaran pengurus PKS Aboe Bakar dan Salim Segaf Aljufri.

Dalam putusannya, terdapat dua hakim yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion).

Baca juga: MK Tolak Seluruhnya Uji Materi Presidential Threshold yang Diajukan PKS

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membaca putusan sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

"Terdapat alasan berbeda dari dua orang hakim konstitusi, yaitu hakim konstitusi Suhartoyo dan Hakim konstitusi Saldi Isra," kata Anwar Usman saat membacakan putusan uji materiil terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017.

Hakim Konstitusi Suharyono berpendapat bahwa ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold atau PT) tidak memerlukan persentase.

Pendiriannya tidak berubah sebagaimana putusan-putusan mengenai PT sebelumnya.

Sementara itu, dalam salinan putusan MK, Saldi Isra berpendapat bahwa ambang batas pencalonan calon presiden dan wakil presiden bukanlah open legal policy pembentuk undang-undang.

Baca juga: Tolak Permohonan PKS untuk Turunkan Presidential Threshold, Ini Alasan MK

Sebab, secara konstitusional, syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden telah ditentukan secara eksplisit dalam UUD 1945.

Ihwal ini, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

"Dengan konstruksi atau perumusan norma konstitusi demikian, pembentuk undang-undang tidak dapat keluar dari apa yang telah dimuat dalam norma konstitusi dengan cara menambah syarat baru yang sama sekali tidak dikehendaki UUD 1945," jelas Saldi.

Alasan MK tolak uji materi

Hakim Enny Nurbaningsih menjelaskan penentuan presidential threshold adalah kebijakan politik yang terbuka.

Mahkamah tidak memiliki wewenang untuk menilai maupun mengubah besaran ambang batas. Namun dalam permohonan, pemohon meminta Mahkamah untuk mengubah ketentuan ambang batas tersebut.

Oleh karena itu, pihaknya menilai dalil permohonan yang diajukan oleh para pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga MK menolaknya.

"Ketentuan presidential threshold perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan lah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas," ucap Enny Nurbaningsih.

Baca juga: Kesalnya PKS soal Gugatan Presidential Threshold UU Pemilu yang Segera Diputus MK

Enny menjelaskan, perubahan ambang batas menjadi kewenangan para pembentuk UU, yakni DPR dan presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut.

Sedangkan berdasarkan permohonan PKS, partai berlambang bulan sabit padi itu meminta MK mengubah presidential threshold menjadi 7 persen atau 9 persen.

Dalam rapat permusyawaratan hakim, MK memutuskan bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terkait ambang batas yang berlaku saat ini.

"Tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal 222 UU 7/2017 sehingga mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya," jelas Enny.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P 'Happy' di Zaman SBY...

TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P "Happy" di Zaman SBY...

Nasional
KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

Nasional
'Groundbreaking' IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

"Groundbreaking" IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com