JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan, jumlah biaya yang digelontorkan negara untuk penanganan penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung tembus Rp 7,7 triliun.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengungkapkan, besarnya pendanaan itu tak lepas dari tingginya penyakit kardiovaskular di Indonesia.
Baca juga: Kemenkes: Penyakit Jantung Penyebab Kematian Tertinggi pada 2014-2019
Data dari Global Burden of Disease atau GBD dan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2014 dan 2019 menyebut, penyakit jantung menjadi penyebab kematian Penyakit Tidak Menular (PTM) terbesar di Indonesia.
"Pembiayaan kesehatan terbesar diduduki oleh permasalahan-permasalahan kardiovaskular, yaitu sekitar Rp 7,7 triliun (data BPJS tahun 2021)," kata Eva Susanti dalam konferensi pers secara daring, Rabu (28/9/2022).
Baca juga: Apakah Es Teh Manis Berbahaya untuk Kesehatan Jantung?
Selain penyakit jantung, pembiayaan kesehatan kedua tertinggi adalah pembiayaan untuk kanker senilai Rp 3,1 triliun, stroke Rp 1,9 triliun, dan gagal ginjal Rp 1,6 triliun.
"Inilah yang menyebabkan permasalahan. Kalau kita bisa kita turunkan prevalensinya, ini akan menghemat pembiayaan negara. Nantinya bisa kita alihkan anggarannya untuk modal pembangunan di bidang yang lain," ucap Eva.
Baca juga: 4 Efek Minuman Manis Pada Risiko Penyakit Jantung
Eva menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab makin tingginya penyakit kardiovaskular. Penyakit ini memang dipengaruhi oleh tekanan darah tinggi (hipertensi), obesitas, diabetes, merokok, dan kurangnya aktivitas fisik.
Data Kemenkes menunjukkan, jumlah penderita hipertensi meningkat di kisaran 600 juta - 1 miliar orang dari tahun 1980-2021. Penderita diabetes pun meningkat sebesar 50 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Baca juga: 8 Penyebab Nyeri Dada yang Bukan Serangan Jantung
Lalu, prevalensi perokok anak berusia 10-18 tahun juga meningkat. Pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen, kemudian naik menjadi 8,80 persen tahun 2016, 9,10 persen pada 2018, dan 10,70 persen pada tahun 2019.
Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di tahun 2030.
"Kemudian juga terjadi peningkatan hampir 200 persen untuk yang merokok menggunakan rokok elektrik, ini juga menjadi persoalan utama," tutur Eva.
Baca juga: Berbagai Dalih Lukas Enembe Mangkir Lagi dari Panggilan KPK: Jantung Bocor hingga Kaki Bengkak
Lebih lanjut dia menjelaskan, hanya 3 dari 10 penderita PTM yang terdeteksi, mengingat sakit karena PTM biasanya tidak memiliki gejala yang signifikan hingga terjadi komplikasi.
Ironisnya kata Eva, hanya 1 dari 3 penderita PTM yang berobat secara teratur.
"Tentu persoalan ini harus kita jawab bagaimana faktor-faktor risiko tadi dicegah, seperti hipertensi, obesitas, merokok, konsumsi alkohol menyebabkan seluruh permasalahan penyakit tidak menular," sebut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.