MINGGU terakhir ini penulis banyak mendapat pertanyaan terkait Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
UU yang telah disetujui bersama dan disahkan oleh Parlemen tersebut ternyata begitu menarik perhatian berbagai kalangan. Rata-rata menyambut baik dan berharap bisa mengatasi persoalan perlindungan data pribadi di Indonesia.
Banyak juga yang meminta untuk segera dilakukan sosialisasi agar masyarakat paham substansi legislasi baru ini.
Beberapa teman yang berprofesi sebagai pengacara terkemuka juga menginfokan bahwa banyak kliennya dari mancanegara yang menaruh perhatian terhadap produk legislasi baru ini.
Baca juga: Tafsir UU Perlindungan Data Pribadi yang Perlu Diketahui
Salah satu hal yang banyak ditanyakan adalah terkait penyelesaian sengketa. Apalagi baru saja terjadi kasus data pribadi anak di Tik Tok yang terjadi di Inggris dan menjadi headline dengan judul “TikTok could face a £27M fine for failing to protect children's privacy when they're using the platform”, yang dimuat BBC News, 26 September 2022.
Berita itu menyatakan kemungkinan Tik Tok bisa didenda karena gagal melindungi data pribadi anak saat menggunakan platform yang lagi popular tersebut karena memperoleh data pribadi anak di bawah 13 tahun tanpa persetujuan semestinya.
Pertama tentu perlu dipahami bahwa UU PDP yang sudah disetujui dan disahkan parlemen, saat ini tengah dalam proses penandatangan dan pengesahan oleh Presiden.
Prosedur ini dilaksanakan sesuai UU No. 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Berdasarkan Pasal 73 ayat (2) dan (3) UU P3, Presiden memiliki waktu 30 hari untuk mengesahkan RUU yang telah disahkan dan dikirim oleh DPR.
Apabila dalam waktu 30 hari tidak ditandangani, terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dari sisi konstruksi hukum, maka sengketa dan kasus PDP yang diatur dalam UU ini dapat digolongkan berupa sengketa perdata, kasus administrasi, dan bisa juga kasus pidana.
Untuk kasus terkait dengan pidana, UU menjadikannya sebagai ultimum remidium, yaitu sebagai garda terakhir penegakan hukum untuk menjamin terpeliharanya ketertiban umum.
UU PDP sesuai asas dan tujuan hukum tentu tidak dimaksudkan untuk mengkriminalisasi secara serampangan.
Penggunaan norma dan delik pidana lebih ditujukan untuk menjaga ketertiban umum dan terlindunginya masyarakat dan negara dari tindakan oknum, atau pelaku pelanggaran dan kejahatan PDP.
Pendekatan pidana sebagai ultimum remidium ini juga tampak dianut negara-negara Eropa dan Amerika. Mereka lebih cenderung menerapkan denda spektakuler untuk membuat jera korporasi, ketimbang menerapkan hukuman penjara.