Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 15/09/2022, 06:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib kembali menjadi perhatian gara-gara aksi peretas (hacker) beridentitas Bjorka.

Melalui utas di Twitter belum lama ini, Bjorka menyatakan dalang pembunuhan Munir adalah mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwoprandjono atau Muchdi Pr.

Setelah pensiun, Muchdi Pr terjun ke dunia politik. Saat ini dia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Berkarya.

Partai Berkarya menduga ada niat lain di balik upaya Bjorka mengungkit kembali kasus Munir yang pernah menyeret Muchdi.

"Adanya hacker Bjorka membuka ke publik lagi (kasus Munir) pasti ada niat di balik itu. Entah mau menutupi isu ter-update atau sekadar isu jelang pemilu lima tahunan. Wallahualam," ujar Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang dalam keterangannya, Senin (12/9/2022).

Baca juga: KASUM: Harusnya Bentuk Tim Mencari Dokumen Pembunuhan Munir, Bukan Tim Mengejar Bjorka

Di sisi lain, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menyebut ada 5 nama terduga aktor kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir. Hal itu tercantum dalam rekomendasi tim pencari fakta (TPF) kasus Munir.

Nama Muchdi Pr dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono turut dimasukkan dalam rekomendasi TPF Munir untuk didalami perang masing-masing dalam kasus itu.

"TPF juga pernah merekomendasikan kepada Presiden agar memerintahkan Kapolri saat itu untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap sejumlah nama, antara lain AM Hendropriyono, Muchdi PR, Bambang Irawan, Indra Setiawan, dan Ramelga Anwar, karena diduga merupakan aktor-aktor yang terlibat dalam permufakatan jahat pembunuhan Munir," kata Sekretaris Jenderal KASUM Bivitri Susanti dalam konferensi pers di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (13/9/2022).

Akan tetapi, kata Bivitri, Hendropriyono menolak diperiksa, tidak menghadiri panggilan dan bersikap tidak kooperatif atas semua panggilan yang dilayangkan TPF.

"Sekali lagi, upaya tersebut kandas. AM Hendropriyono tetap tidak dapat disentuh oleh proses penegakan hukum menunjukkan bahwa ada impunitas hukum di sini," kata Bivitri.

Baca juga: KASUM Sebut Nama Pembunuh Munir yang Diungkap Hacker Bjorka Bukan Hal Baru

Kompas.com berupaya menghubungi Hendropriyono terkait pernyataan KASUM ini. Namun, belum ada respons dari Hendropriyono.

Kronologi kasus pembunuhan Munir

Munir dibunuh pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura.

Pemberitaan Harian Kompas 8 September 2004 menyebutkan, Munir meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.

Menurut laporan Munir wafat saat pesawat itu melintas di langit Rumania.

Hasil autopsi menunjukkan adanya senyawa arsenik dalam tubuh mantan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu.

Proses hukum terhadap orang yang dianggap terlibat dalam pembunuhan Munir pernah telah dilakukan.

Pengadilan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto yang merupakan pilot Garuda Indonesia, karena terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dengan cara memberikan racun arsenik ke dalam minuman korban.

Baca juga: KASUM Sebut 5 Nama Diduga Aktor Pembunuhan Aktivis HAM Munir, Salah Satunya AM Hendropriyono

Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 27 Maret 2006.

Akan tetapi, pada 3 Oktober 2006, Mahkamah Agung (MA) menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dan menjatuhkan vonis 2 tahun penjara.

Menurut MA, Pollycarpus hanya terbukti bersalah menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanan.

Lantas Kejaksaan Agung (Kejagung) mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan MA terhadap Pollycarpus.

Pada 26 Juli 2007, MA mengabulkan PK yang diajukan Kejagung dan menjatuhkan hukuman penjara 20 tahun kepada Pollycarpus. Pollycarpus kemudian mengajukan PK atas putusan itu.

Pollycarpus kemudian bebas bersyarat pada 13 November 2014 setelah menjalani 8 tahun masa hukuman. Dia bebas murni pada 29 Agustus 2018.

Pollycarpus meninggal pada 17 Oktober 2020 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, akibat infeksi Covid-19.

Dalam kasus pembunuhan Munir, pengadilan juga memvonis 1 tahun penjara kepada Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan.

Baca juga: KontraS: Pengungkapan Hacker Bjorka Terhadap Kasus Pembunuhan Munir Baru Seujung Kuku

Dia disebut terbukti berperan menempatkan Pollycarpus di jadwal penerbangan Munir.

Caranya dengan membuat surat perintah perjalanan yang menyatakan Pollycarpus sebagai staf perbantuan perusahaan atau petugas keamanan penerbangan (aviation security) dalam pesawat yang ditumpangi Munir.

Menurut Indra, dia membuatkan surat penugasan itu karena Pollycarpus mendatanginya pada Juuni atau Juli 2004 di Restoran Bengawan Solo, Hotel Sahid, Jakarta.

Dalam pertemuan itu menurut Indra, Pollycarpus menunjukkan surat perintah dari BIN yang diteken oleh Wakil Kepala BIN saat itu As'ad Said Ali.

Isi surat itu menyatakan meminta Pollycarpus ditugaskan sebagai petugas keamanan dengan alasan PT Garuda Indonesia adalah perusahaan vital dan strategis sehingga keamanannya perlu ditingkatkan.

Di sisi lain, sejumlah fakta persidangan bahkan menyebut adanya dugaan keterlibatan petinggi BIN dalam pembunuhan ini.

Baca juga: Rilis Buku Mencintai Munir, Suciwati: untuk Merawat Ingatan Penegakan HAM

Sebab, Pollycarpus disebut-sebut merupakan agen non-organik BIN yang direkrut oleh Muchdi Pr.

Menurut Ketua TPF Munir Marsudhi Hanafi, saat itu Hendropriyono menjadi salah satu orang yang dianggap patut diperiksa.

Sebab, kasus pembunuhan Munir diduga melibatkan sejumlah anggota BIN dan Hendropriyono sebagai pimpinan tertinggi dianggap mengetahui hal itu.

Akan tetapi, kata Marsudhi, keterlibatan Hendropriyono dalam kasus pembunuhan Munir tidak terbukti.

Akan tetapi, tidak ada petinggi BIN yang diputus bersalah oleh pengadilan dalam kasus Munir.

Pada 13 Desember 2008, Muchdi Pr yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, divonis bebas dari segala dakwaan.

Baca juga: Soal Kasus Munir yang Diungkap Hacker Bjorka, Komnas HAM: Kami Bergerak dari Fakta

Dokumen TPF hilang

Selain itu, hal yang juga menjadi persoalan besar adalah keberadaan dokumen hasil penyelidikan TPF Munir tidak diketahui sampai saat ini.

Padahal menurut TPF, mereka sudah menyerahkan langsung salinan dokumen penyelidikan itu ke tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 24 Juni 2005 di Istana Negara, tanpa melalui Sekretariat Negara.

Hal itu dibenarkan oleh mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra.

"Setahu saya pada waktu itu TPF menyerahkan laporan itu langsung by hand kepada Presiden," kata Yusril saat dihubungi Kompas.com pada 13 Oktober 2016.

Yusril menjelaskan, saat itu SBY tidak memerintahkan agar Sekretariat Negara mengarsipkan dokumen tersebut.

Baca juga: Partai Berkarya Tanggapi Tudingan Bjorka soal Muchdi Pr Dalang Kasus Munir

Oleh karena itu, Yusril menilai wajar apabila saat ini dokumen tersebut tidak ada di Sekretariat Negara.

"Kalau ditanya ke saya di mana arsip itu, ya tanya saja sama SBY," kata Yusril.

Yusril menilai, memang tidak semua dokumen yang diserahkan kepada Presiden harus diregistrasi di Setneg.

Hanya saja, yang jadi permasalahan adalah SBY tidak mengumumkan dokumen hasil penyelidikan TPF Munir hingga akhir masa jabatannya.

Dokumen itu juga tak pernah dibuka ke masyarakat. Bahkan, saat pemerintah diminta membukanya, dokumen penyelidikan TPF diklaim hilang.

Hilangnya dokumen itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016, yakni pada saat Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mendatangi kantor Sekretariat Negara (Setneg) meminta penjelasan dan mendesak supaya hasil laporan TPF segera diumumkan.

Baca juga: Usman Hamid Tolak Jadi Anggota Tim Ad Hoc Kasus Munir, Komnas HAM: Kami Cari Nama Lain

Isi rekomendasi TPF Munir

Isi rekomendasi TPF Munir pernah dibacakan oleh mantan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam jumpa pers di kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, pada 25 Oktober 2016.

Hal itu dilakukan setelah muncul desakan supaya Presiden SBY membuka dokumen TPF Munir.

Isi lengkap rekomendasi TPF itu adalah sebagai berikut:

1. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk meneruskan komitmen Presiden dalam pengungkapan kasus pembunuhan Munir secara tuntas hingga mencapai keadilan hukum. Untuk itu perlu dibentuk sebuah tim baru dengan mandat dan kewenangan yang lebih kuat guna menindaklanjuti dan mengembangkan temuan-temuan TPF, serta mengawal seluruh proses hukum dalam kasus ini, termasuk dan terutama yang dapat secara efektif menindaklanjuti proses pencarian fakta di lingkungan BIN.

2. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri melakukan audit atas keseluruhan kinerja tim penyidik kasus meninggalnya Munir dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan kapasitas penyidik Polri secara profesional dalam mengusut tuntas permufakatan jahat dalam jangka waktu yang wajar.

3. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri agar melakukan penyidikan yang lebih mendalam terhadap kemungkinan peran Indra Setiawan, Ramelga Anwar, AM Hendropriyono, Muchdi PR, dan Bambang Irawan dalam permufakatan jahat melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir.

Baca juga: 18 Tahun Kasus Munir dan Laporan TPF yang Masih Menjadi Misteri

Menurut penjelasan Sudi, naskah penyelidikan TPF Munir itu diberikan kepada SBY selaku Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menteri Hukum dan HAM, serta Sekretaris Kabinet.

Bahkan dalam jumpa pers itu, Sudi meminta supaya pihak-pihak yang masih menyimpan dokumen TPF itu supaya menyerahkannya kepada Presiden Joko Widodo.

"Kami berharap para pejabat yang sedang mengemban tugas di jajaran lembaga kepresidenan, baik saat ini atau di masa Presiden SBY yang mengetahui di mana naskah itu disimpan, bisa menyerahkannya ke Presiden Jokowi," ujar Sudi.

(Penulis : Achmad Nasrudin Yahya, Singgih Wiryono | Editor : Bayu Galih, Bagus Santosa, Dani Prabowo, Sabrina Asril)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

MRT Hadirkan Lagi Kereta Khusus Perempuan, Hanya Berlaku Saat Jam Sibuk

MRT Hadirkan Lagi Kereta Khusus Perempuan, Hanya Berlaku Saat Jam Sibuk

Nasional
Soal Penolakan Timnas Israel U-20, Gubernur Bali: Itu Bukan Sikap Saya, tapi...

Soal Penolakan Timnas Israel U-20, Gubernur Bali: Itu Bukan Sikap Saya, tapi...

Nasional
Sayangkan Sikap Politikus Tolak Timnas Israel, Pengamat: Yang Ditentang Harusnya Kebijakan Zionis Israel

Sayangkan Sikap Politikus Tolak Timnas Israel, Pengamat: Yang Ditentang Harusnya Kebijakan Zionis Israel

Nasional
Survei Litbang Kompas, Pemerintah dan Penyelenggara Dinilai Belum Tegas soal Penundaan Pemilu

Survei Litbang Kompas, Pemerintah dan Penyelenggara Dinilai Belum Tegas soal Penundaan Pemilu

Nasional
Survei Indikator: Elektabilitas Erick Thohir Naik Signifikan di Bursa Cawapres, tapi Bukan yang Teratas

Survei Indikator: Elektabilitas Erick Thohir Naik Signifikan di Bursa Cawapres, tapi Bukan yang Teratas

Nasional
KPK Geledah Kantor Kementerian ESDM

KPK Geledah Kantor Kementerian ESDM

Nasional
Bawaslu: Politik Uang dan Kampanye di Tempat Ibadah Masuk Pidana Pemilu

Bawaslu: Politik Uang dan Kampanye di Tempat Ibadah Masuk Pidana Pemilu

Nasional
Duduk Perkara KPK Tegur Ditjen Bea Cukai yang Panggil Pembocor Skandal Dugaan Korupsi IMEI

Duduk Perkara KPK Tegur Ditjen Bea Cukai yang Panggil Pembocor Skandal Dugaan Korupsi IMEI

Nasional
Kepercayaan Publik Meningkat, Polri Janji Terus Evaluasi

Kepercayaan Publik Meningkat, Polri Janji Terus Evaluasi

Nasional
Didampingi Kapolri, Jokowi Bertemu PP Pemuda Muhammadiyah di Istana

Didampingi Kapolri, Jokowi Bertemu PP Pemuda Muhammadiyah di Istana

Nasional
Said Abdullah Bantah Amplop yang Dibagikan di Masjid Terkait Kampanye, tapi Rutinitas

Said Abdullah Bantah Amplop yang Dibagikan di Masjid Terkait Kampanye, tapi Rutinitas

Nasional
Survei Indikator, Kepercayaan Publik ke Polri Terus Meningkat, Kini Capai 70,8 Persen

Survei Indikator, Kepercayaan Publik ke Polri Terus Meningkat, Kini Capai 70,8 Persen

Nasional
Survei Indikator Elektabilitas Cawapres: Ridwan Kamil Turun, Erick Thohir hingga AHY Naik

Survei Indikator Elektabilitas Cawapres: Ridwan Kamil Turun, Erick Thohir hingga AHY Naik

Nasional
Dewas Berharap KPK Lebih Berani Usut Kasus Korupsi yang Besar

Dewas Berharap KPK Lebih Berani Usut Kasus Korupsi yang Besar

Nasional
Motif Pengubahan Substansi Putusan MK Dinilai Perlu Diungkap Polisi

Motif Pengubahan Substansi Putusan MK Dinilai Perlu Diungkap Polisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke