“Bicara mengenai keadilan sekarang ini, bisa dikatakan masyarakat sudah apatis, dan tidak lagi menjadikan pengadilan sebagai sarana utama untuk menegakkan keadilan. Wajah suram dunia peradilan bisa dilihat kasat mata lewat moralitas aparat penegak hukum. Korupsi terjadi di dalam pengadilan itu sendiri (judicial corruption). Hal itu bisa dilihat dari banyaknya putusan-putusan kontroversial yang dikeluarkan oleh pengadilan, yang tidak memenuhi rasa adil”. – Dr. Nur Alam.
Nukilan pandangan dari Gubernur Sulawesi Tenggara dua periode (2013-2018) ini bukan dari pembelaan dari kasus menimpanya, tetapi memiliki spektrum gugatan keadilan bagi siapa saja yang nantinya – disengaja atau tidak – bersinggungan dengan hukum.
Suatu ketika pada awal 2016, saya diminta men-choaching seorang kepala daerah di salah satu kabupaten di Kalimantan. Usianya masih muda, jauh di bawah umur saya. Berasal dari keluarga tajir melintir dan menjadi bupati karena memang menang mutlak di Pilkada.
Sang Bupati ingin menjadi kepala daerah yang sukses dan ingin advis dari saya mengenai resep menjadi kepala daerah yang berhasil.
Tentu saja saya mengeluarkan nasihat sederhana; jangan korupsi, jangan madat atau tersangkut kasus narkoba dan terakhir jangan terlena dengan urusan duniawi.
Hanya saja saya lupa memberikan nasihat lain, yakni jangan senggol tembok “kekuasaan” yang kokoh nan digjaya. Apalagi berkelindan dengan rezim dan pemegang senjata.
Kini, sang bupati muda itu mendekam di lembabnya dinding penjara. Dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena berseteru dengan “godfather” pertambangan. Tanpa korupsi pun, sahabat saya ini sudah kaya dari sononya.
Nur Alam pun setali tiga uang, dipaksa kalah dan divonis salah karena kasus surat izin usaha pertambangan dikaitkan dengan dugaan pengerusakan alam yang merugikan negara.
Uniknya, nilai kerugian negara tidak dihitung berdasar audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika sahabat saya yang bupati dijerat ancaman tindak pidana korupsi, melibatkan para bawahannya sebagai tersangka dan asetnya disita, justru kasus Nur Alam tidak menjerat mantan anak buahnya sebagai ikut tersangka atau adanya penyitaan aset. Nur Alam menjadi pesakitan seorang diri.
Jika Selasa, 6 September 2022, terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah di tanah air sebagai protes atas kenaikan harga bahan bakar minyak, maka justru pada hari itu ada “kebahagian” bagi keluarga 23 narapidana kasus korupsi yang mendapat kebebasan bersyarat usai memperoleh remisi.
Di antaranya, enam napi koruptor bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung dan empat napi koruptor dari Lapas Wanita dan Anak Kelas IIA Tangerang.
Yang menjadi “alumni” Sukamiskin terdapat nama-nama “beken” seperti Bekas Menteri Agama Suryadharma Ali, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, Bekas Gubernur Jambi Zumi Zola, Tubagus Chaeri Wardana yang juga suami Mantan Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, eks Bupati Indramayu Supendi, Mantan Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar serta Bekas Bupati Subang Ojang Suhandi.
Sementara “tamatan” dari Lapas Tangerang tersebutlah Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah, bekas Jaksa Pinangki Sirna Malasari, eks Direktur Utama PT Jasa Marga Desi Aryani serta bekas terpidana kasus suap Mirawati Basri.
Mereka seperti halnya warganegara biasa lainnya, mempunyai kesetaraan dalam hukum karena telah menyelesaikan masa hukuman.
Mereka juga telah “menebus” kesalahan dengan vonis hukuman yang telah dijatuhkan. Setiap tahun pula mereka mendapat pengurangan masa hukuman karena remisi. Itulah hak yang mereka dapatkan sesuai dengan undang-undang.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.