JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Universitas Indonesia (UI) yang juga menjadi tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Topo Santoso mengatakan, KUHP yang baru bakal dikemas menjadi 2 buku.
Diketahui, KUHP yang berlaku saat ini disusun dalam 3 buku, yakni Buku I Aturan Umum, Buku II Kejahatan, dan Buku III Pelanggaran.
Sementara di RKUHP, Buku II Kejahatan dan Buku III Pelanggaran bakal digabung menjadi satu.
"Hanya ada dua buku nanti ke depannya, Buku I Ketentuan Umum yang bertambah banyak karena berbagai ketentuan umum yang sekarang di KUHP belum ada. Lalu, Buku II tentang Kejahatan dan Pelanggaran," kata Topo dalam diskusi publik RKUHP secara daring, Rabu (7/9/2022).
Baca juga: Mahfud MD soal KUHP Perlu Diubah: Sudah 77 Tahun Negara Kita Merdeka
Topo Santoso menjelaskan, penggabungan Buku II dan Buku III KUHP memiliki beberapa alasan. Salah satunya karena sulit membedakan kejahatan dengan pelanggaran.
Kemudian, setelah dilebur, Buku II akan berisi tentang Tindak Pidana.
"Semuanya dijadikan satu jenis, yaitu tindak pidana. Jadi tidak ada lagi kejahatan dan pelanggaran di KUHP kita masa depan. UU di luar KUHP nanti menyesuaikan juga hanya ada tindak pidana," ujarnya.
Topo mengatakan, KUHP yang berlaku saat ini perlu direvisi lantaran sudah banyak perkembangan yang terjadi. Misalnya, dalam Bab I KUHP, belum ada pengaturan soal hukum pidana melalui sarana teknologi dan informasi.
Baca juga: Merdeka dengan KUHP Nasional
Pasalnya, KUHP saat ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Perumusan perubahan KUHP sendiri sudah berjalan sejak 59 tahun lalu, tepatnya sejak tahun 1963.
"Jadi itu (hukum pidana TI) belum tercover di sana. Ada berbagai perkembangan lain yang seharusnya sudah harus dimodernisasi," kata Topo Santoso.
Lebih lanjut, Topo mengungkapkan, KUHP yang menjadi acuan dan dipakai sekarang adalah KUHP terjemahan dari berbagai ahli dengan isi yang berbeda. Sebab, kitab aslinya berbahasa Belanda.
Namun, menurut Topo, perbedaan bukan hanya terletak di penerjemahan kata, tapi juga di porsi sanksi pidana dan pasal-pasalnya.
Baca juga: Sejarah KUHP dan Perjalanan Menuju KUHP Baru
Sebagian penulis, kata Topo, menghilangkan sebagian pasal karena dianggap sudah tidak sesuai dengan masa-masa kemerdekaan.
Sedangkan penerjemah yang lain masih mempertahankan pasal tersebut karena belum ada UU yang mengubah atau menggantinya.
"Ada banyak isu lain bahwa kita sebagai bangsa yang merdeka belum punya KUHP. KUHP yang kita punya adalah KUHP yang resminya bahasa Belanda. Maka sudah seharusnya kita memiliki KUHP nasional kita," ujarnya.