SAAT berbicara tentang sistem dan strategi dalam membangun sebuah sistem pertahanan udara (sishanud) ibu kota negara, sebenarnya hal yang harus diketahui adalah bahwa sishanud ibu kota negara merupakan salah satu sub sistem dari sishanud nasional.
Sishanud nasional pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang dibangun dalam menghadapi ancaman yang datang dari udara dengan tujuan menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara di udara.
Dalam hal itu pertama kali harus dilihat bersama tentang apa itu kedaulatan negara di udara. Dalam konteks hukum udara internasional, kedaulatan negara di udara selalu akan merujuk kepada Konvensi Chicago 1944 yang merupakan kelanjutan dari Konvensi Paris 1919.
Baca juga: 4 Komponen Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta
Kedaulatan negara di udara seperti yang tercantum dalam konvensi Chicago 1944 sangat jelas yaitu bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan ekslusif. Inilah yang memperlihatkan secara gamblang perbedaannya dengan hukum laut internasional.
Wilayah udara sebuah negara bersifat tertutup bagi semua penerbangan tanpa izin. Sementara hukum laut mengenal jalur lintas damai (innocent passage) di kawasan perairan wilayah kedaulatan sebuah negara.
Ada jalur lintas di perairan sebuah negara yang dapat digunakan tanpa izin. Wilayah udara kedaulatan sebuah negara tidak mengenal jalur lintas penerbangan tanpa izin.
Berikutnya, dalam hal sistem pertahanan udara nasional harus dipahami sebagai sebuah sub sistem atau merupakan bagian integral dari konsep pertahanan keamanan nasional. Artinya, sistem pertahanan udara nasional merupakan bagian dari sistem pertahanan nasional.
Dalam konteks inilah wilayah kedaulatan negara menjadi sangat penting untuk dicermati dalam hubungannya dengan sistem pertahanan nasional. Wilayah kedaulatan negara akan menentukan sejauh mana wilayah kedaulatan negara di udara.
Wilayah udara kedaulatan sebuah negara logikanya adalah kawasan udara di seluruh wilayah teritori negara.
Dalam perspektif hukum, Indonesia masih belum menyatakan wilayah udara di atas teritorinya sebagai wilayah kedaulatan dalam kontitusinya.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Wilayah udara tidak disebut di situ. Hal ini menjadi salah satu catatan penting dalam konteks pengelolaan sistem pertahanan negara, dalam hal ini pertahanan udara nasional.
Pada sisi lainnya, konsep pertahanan negara yang berkembang pasca Perang Dunia ke 2 telah membuat semua negara membangun sistem pertahanan negara yang total sifatnya atau total defence system. Hal ini tentu saja terutama sekali sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang penerbangan, khususnya teknologi persenjataan.
Semua negara di dunia dalam membangun kekuatan perangnya akan senantiasa bergantung kepada kemajuan teknologi dan azas pertahanan semesta atau total defence.
Pertahanan nasional yang total sifatnya merupakan kebutuhan mutlak setelah rangkaian perang yang terjadi sepanjang sejarah. Setidaknya pelajaran mahal telah diberikan dari serangan Jepang ke Pearl Harbor di tahun 1941, pengeboman oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki yang menghentikan perang dunia ke dua, serta serangan 11 September 2001 yang dikenal dengan tragedi 9/11.
Baca juga: AS Sepakat Perkuat Sistem Pertahanan Udara Taiwan, Nilainya Rp 1,3 Triliun