“Angkatan Bersenjata Republik Indonesia harus kompak dan bersatu. Dan satu-satunya dasar agar supaya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berkompak satu ialah dasar Pancasila. Kalau memakai dasar lain daripada Pancasila, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan terpecah belah. Pegang teguh akan hal ini, saudara-saudara.” (Amanat Presiden Sukarno di HUT ABRI, 5 Oktober 1966)
Petuah Proklamator Bung Karno ini akan tetap kontekstual dan terus memberi spirit bagi TNI sampai kapanpun.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, para pucuk pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR-nama resmi sebelum TNI) sempat “berseberangan jalan”.
Pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, pembentukan organisasi militer harus segera dilakukan sebagai antisipasi agresi militer penjajah yang tidak bisa menerima kemerdekaan Indonesia.
Dalam bukunya “Politik Milter Indonesia”, Ulf Sundhaussen menyebut komposisi TKR usai Indonesia merdeka terdiri dari bekas serdadu Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang sempat bersumpah setia kepada Ratu Belanda, mantan tentara Pembela Tanah Air (PETA) binaan Jepang serta beragam laskar pemuda yang baru belakangan bergabung.
Komposisi jumlah bekas anggota PETA melebihi jumlah eks KNIL dalam TKR, tetapi untuk urusan pengalaman dan pengorganisasi tentara justru eks KNIL yang unggul.
Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan di KNIL yang lebih teratur ketimbang PETA yang dibentuk Jepang untuk persiapan perang melawan Sekutu.
Beberapa eks KNIL adalah alumni sekolah elite militer Breda di Belanda seperti Abdul Haris Nasution, Urip Sumoharjo, TB Simatupang, Alex Kawilarang, Mokoginta dan Abdul Kadir.
Sementara mantan KNIL yang kemudian bergabung di PETA dan melebur ke dalam TKR seperti Ahmad Yani, Soeharto, Gatot Subroto, dan Slamet Riyadi.
Khusus untuk kelaskaran dan berbagai organisasi kemiliteran seperti Tentara Pelajar menjadi penyumbang terbesar keheterogenan di TKR.
Sejak awal terbentuknya TKR, ketiga komponen pengisi TKR ini kerap berbeda pandangan karena rantai komandonya lebih percaya kepada komandan yang berasal dari golongannya sendiri.
Amburadulnya organisasi berimbas kepada persaingan siapa yang lebih “pantas” menjadi Panglima TKR di November 1945.
Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menunjuk Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf TKR merujuk kepada senioritas Urip yang berpangkat mayor di KNIL selain pengalamannya sebagai perwira yang mumpuni dalam membentuk organisasi militer.
Urip adalah satu-satunya pribumi di KNIL yang bisa menapak pangkat mayor.
Dalam bukunya “Untuk Negeriku”, Mohammad Hatta menunjuk Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf TKR mengingat Presiden Soekarno tengah melakukan kunjungan ke Cianjur. Sebagai dwitunggal, Hatta menilai langkahnya menunjuk Urip tidak ada yang salah.
Sementara menurut Jenderal AH Nasution dalam bukunya “TNI Jilid 1” menukilkan kalau pimpinan TKR di daerah-daerah eks PETA banyak yang tidak “sreg” dengan kepemimpinan Urip, bahkan mengabaikan instruksi dari pusat.
Ada gap antara tentara eks KNIL dan bekas PETA sehingga menimbulkan rivalitas yang tidak sehat.
Dalam kondisi kekosongan posisi panglima TKR atau menteri keamanan selepas penunjukan Supriyadi sebagai menteri keamanan rakyat yang tidak pernah “jelas” usai pemberontakan PETA di Blitar, maka perlu segera dipilih Panglima TKR.
Belum lagi tindakan ofensif tentara Sekutu yang membebaskan tawanan tentara Jepang kerap merugikan TKR.