JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Persatuan Pembangunan kembali dilanda kisruh internal. Kali ini Majelis Pertimbangan memutuskan memberhentikan Suharso Monoarfa dari jabatan Ketua Umum partai berlambang Ka'bah itu.
Menurut Wakil Sekretaris Majelis Pertimbangan PPP Usman M Tokan mengatakan, pencopotan itu sesuai dengan hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP, Senin (5/9/2022).
“Para pimpinan majelis berkesimpulan bahwa terjadi sorotan dan kegaduhan PPP secara meluas yang tertuju pada saudara Suharso Monoarfa pribadi dengan masyarakat Indonesia yang mereka pemilih dan simpatisan PPP,” papar Usman dalam keterangannya.
Hingga saat ini PPP tercatat sudah beberapa kali mengalami kisruh di tubuh partai. Persoalan yang menjadi pemicunya pun beragam.
Baca juga: Waketum PPP Sebut KIB Tetap Solid meski Suharso Monoarfa Tak Lagi Jabat Ketum
Berikut ini deretan peristiwa perselisihan internal PPP yang dirangkum Kompas.com.
Pada 1979, politikus PPP Jailani Naro atau John Naro mendeklarasikan diri sebagai Ketua Umum dengan dukungan dari pemerintah Orde Baru.
John Naro adalah mantan jaksa yang kemudian menjadi politikus dengan menjadi anggota Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Parmusi kemudian melebur ke dalam PPP melalui kebijakan fusi di masa Orde Baru.
Saat itu Naro juga berselisih dengan politikus PPP dari fraksi Nahdlatul Ulama (NU). Dia menyingkirkan pada politikus dari kalangan NU memusatkan semua dukungan kepadanya.
Perselisihan Naro dan politikus dari kalangan NU di PPP mencapai puncak pada 1982. Bahkan saat itu banyak calon anggota legislatif PPP dari NU terpental dari nomor urut jadi menjadi posisi bawah sehingga kecil kemungkinan untuk terpilih.
Baca juga: Soal Pemberhentian Suharso, Arsul Sebut Demi Katrol Elektabilitas PPP
Alhasil, NU memutuskan mundur dari dunia politik dalam wadah PPP melalui keputusan Muktamar pada 1984 yang digelar di Situbondo, Jawa Timur. Dalam keputusan muktamar itu, NU menyatakan kembali ke khittah 1926 yaitu sebagai organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan.
Akibatnya, perolehan suara PPP pada Pemilu 1988 merosot hingga hanya mencapai 15,6 persen. Padahal pada Pemilu 1982, PPP meraih suara nasional sebanyak 27,78 persen.
Karena perolehan suara yang jeblok, John Naro akhirnya dicopot dari posisi ketua umum pada Muktamar PPP 1989. Dia digantikan oleh Buya Ismail Hasan Metareum.
Konflik PPP pada masa kepemimpinan Ketua Umum Suryadharma Ali (SDA) terjadi sejak 2014.
Menurut penjelasan sejumlah kalangan internal PPP, pangkal persoalannya terjadi ketika SDA dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP Djan Faridz menghadiri kampanye Partai Gerindra pada 23 Maret 2014.
Menurut politikus PPP Qoyum Abdul Jabar, gejolak di dalam PPP saat itu mulai terjadi sejak Musyawarah Kerja Nasional di Lirboyo, Jawa Timur. Saat itu PPP mulai memetakan siapa calon yang bakal diusung pada Pilpres 2014.
Menurut Qoyum, saat itu ada sejumlah nama tokoh yang dinilai layak diusung menjadi capres. Akan tetapi, kata dia, dalam Mukernas itu SDA menyatakan ingin maju dalam Pilpres 2014.
Setelah beberapa waktu bergulir, akhirnya nama-nama capres yang dinilai layak diusung oleh PPP semakin mengerucut. Pilihannya antara Prabowo Subianto atau Joko Widodo.
Baca juga: Pemberhentian Suharso Monoarfa sebagai Ketum PPP Dinilai untuk Meredam Kegaduhan
Akan tetapi, SDA dan Djan Faridz saat itu mendadak hadir di kampanye Prabowo dan menyampaikan dukungan.
Sikap SDA itu kemudian menuai protes dari 27 perwakilan dewan pimpinan wilayah (DPW) PPP.
Saat itu PPP terbelah menjadi 2 kubu, yakni SDA yang disokong Djan Faridz, dan Sekjen PPP M. Romahurmuziy serta Wakil Ketua PPP Emron Pangkapi.
Pada 23 Mei 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan SDA sebagai tersangka kasus korupsi dana haji.