JAKARTA, KOMPAS.com - Seniman dan budayawan Sujiwo Tedjo menceritakan kisah di balik lukisannya berjudul “Penunggang Gelombang”.
Lukisan itu menjadi salah satu dari 15 karya lain yang dipamerkan di Nasdem Tower, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2022).
Pameran tersebut menjadi rangkaian aktivitas dalam gerakan Partai Nasdem bertajuk "Harmoni Budaya Indonesia".
Baca juga: Surya Paloh Minta Nasdem Dirikan Badan Budaya untuk Kawal Politik dan Kebijakan Kebudayaan
Menurut rencana, aktivitas ini bakal menjadi embrio pembentukan organisasi Badan Budaya Partai Nasdem yang diminta oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Lukisan “Penunggang Gelombang” berbentuk bulat, dan tampak seorang nelayan dengan paras menyerupai Surya Paloh sedang mendayung gelombang berwarna emas. Dilihat dari jauh, lukisan ini mirip dengan logo Partai Nasdem.
“Ini mengisahkan pertemuan saya dengan Pak Surya waktu Nasdem belum jadi partai,” tutur Tedjo ditemui di Nasdem Tower, Rabu malam.
Secara pasti, Tedjo tak ingat kapan pertemuan berlangsung. Namun, kala itu Surya sedang melakukan sosialisasi Nasdem.
Baca juga: Buka Peluang Koalisi dengan PAN, Nasdem Mengaku Jalin Komunikasi Intensif
Tedjo diajak menemui Paloh bersama penyair asal Padang, Sumatera Barat, Jose Rizal Manua.
Ia mengungkapkan, banyak memberi kritikan pada Surya dan kondisi negara saat itu.
Tanpa membantah, Surya mendengarkan semua pernyataan Tedjo.
“Saya kritik sana sini dan Pak Surya mendengarkan tak satu pun membantah. Setelah saya mengkritik semuanya, dia bilang ‘kalau cuma mengkritik banyak, kita tak cuma perlu pengkritik tapi perlu orang yang merestorasi bangsa ini,’” paparnya.
Ia lantas memuji Nasdem Tower sebagai kantor partai politik (parpol).
Dalam pandangan Tedjo tak ada kantor parpol yang berisi berbagai karya seni seperti Nasdem Tower.
“Nah bisa enggak mempengaruhi partai lain supaya kaya gini? Aku mau pamerin di partai lain, pengen aku. Tapi gedungnya bisa kaya gini enggak? Gitu lho,” ujar dia.
Baca juga: Ada Lukisan Jokowi Bawa Pistol, Ini Kata Sekjen PDI-P
Tedjo menilai parpol harus dekat dengan karya seni, tujuannya agar tercapai politik berkesenian.
Ia menggambarkan dalam politik berkesenian orang bisa tidak sependapat dan bertengkar dalam forum atau ruang tertentu, tapi tetap menjalin persahabatan.
“Dwitunggal sudah pecah tapi yang nikahin Hatta tetap Soekarno, yang ngelamarin Rahmi-Hatta, ya Soekarno,”
“Kalau berkesenian, politik okelah gebrak-gebrakan di meja tapi berteman habis itu. Aku merindukan itu,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.