TEMAN saya seorang guru di salah satu sekolah swasta. Ia pengajar mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Dalam setiap pertemuan, ia dengan fasih mengomentari masalah hubungan pemberitaan tentang politik, mulai dari suap dan nepotisme pejabat, hak asasi warga negara, kemiskinan, keadilan hingga korupsi di Kementerian Agama.
Suatu kali di warung tongkrongan kami, ia membuat sebuah kesimpulan bahwa semua persoalan negara bermula dari krisis integritas pejabat negara.
Pejabat negara tanpa integritas cenderung menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penegak hukum tanpa integritas cenderung menjatuhkan hukum berat sebelah. Dan seterusnya.
Di tengah obrolan itu, hapenya berdering. Anaknya yang berusia 11 tahun meminta segera pula karena sudah malam, waktu itu pukul 8 malam.
Sebelum menutup telepon anaknya bertanya, “ayah lagi di mana?” Spontan ia menjawab, “ayah masih di kantor, sedang ada rapat.”
Lalu obrolan kami terus berlanjut tentang berita politik penangkapan menteri dan jenderal polisi yang terlibat suap.
Lain lagi dengan seorang teman yang sehari-hari dikenal sebagai ustadz. Dalam sebuah perjalanan pesawat terbang, kami berangkat berbarengan ke Jakarta.
Ketika check in, petugas bertanya, apakah ada penumpang dalam keadaan hamil di rombongan saya.
Sejenak saya menengok ke arah istri dan bingung. Saya khawatir tidak boleh terbang karena istri saya sedang hamil muda. Saya jawab, “iya, ada.”
Petugas itu lalu menyarankan agar dicek kesehatannya untuk mendapatkan izin perjalanan. Setelah semua selesai, kami duduk di ruang tunggu.
Sambil menunggu kedatangan pesawat, teman itu mengajak ke mushala bandara untuk shalat zuhur. Sambil jalan menuju mushala, ia bertanya, “bayar berapa tadi cek kesehatan?”
Saya jawab sejumlah uang yang saya sudah lupa berapa. Ia lalu menimpali seolah menyesalkan tindakan saya, “Seharusnya tadi kamu tidak perlu menoleh ke belakang. Bilang saja, tidak. Tapi dengan kamu menoleh ke belakang, petugas itu justru semakin curiga. Kamu akhirnya harus bayar”.
Sejak itu saya jadi bertanya dan heran kenapa teman saya itu ‘menyarankan’ saya untuk berbohong, padahal ia ahli agama?
Sama halnya dengan guru yang fasih bicara integritas tadi, tapi berbohong pada anaknya.