PERISTIWA terciduknya Profesor Karomani beserta tujuh orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu (20/8) yang lalu, melengkapi deretan panjang kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dan penentu kebijakan di negeri ini.
Setidaknya ada dua hal menarik yang patut dijadikan perenungan.
Pertama, Prof Karomani notabene adalah ketua Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa yang tentu saja tidak perlu diragukan lagi pengetahuannya tentang makna penting integritas.
Secara intelektual tentu memiliki pemahaman yang lebih jika dibandingkan masyarakat awam pada umumnya.
Beliau juga tercatat sebagai pengurus inti di tingkat daerah dari sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.
Dalam perspektif agama (Islam) seseorang yang mengerti (hukum) di mata Tuhan derajat dosa dan kesalahannya juga menjadi lebih berat.
Namun demikian bukan berarti kita justru semakin takut untuk belajar dan atau mengetahui hukum dan terutama hukum-hukum Tuhan.
Kedua, Prof. Karomani adalah seorang rektor perguruan tinggi (negeri) yang lazimnya sebagai perguruan tinggi tentu menjadi garda terdepan “kedua”--setelah perguruan tinggi yang berada dalam naungan kementerian agama--bagi benteng atau lebih tepat sebagai institusi yang harus secara sistemik menyemai, memupuk dan menumbuhsuburkan nilai-nilai integritas kepada para generasi penerus bangsa.
Femomena perilaku koruptif sejatinya lebih dapat disebut sebagai fenomena puncak gunung es di tengah lautan.
Tanpa bermaksud mengenalisir, pertanyaan yang patut menjadi renungan bersama, apakah praktik suap, jual beli kursi hanya terjadi diperguruan tinggi a quo? Sebuah pertanyaan introspektif sebagai bentuk kegelisahan sebagai bagian kecil dari seorang anak bangsa.
Yang juga perlu menjadi perhatian kemudian adalah banyaknya rumor bahwa tidak saja di perguruan tinggi negeri, jual beli kursi bahkan merambah sampai tingkat sekolah menengah unggulan atau setidaknya yang dinilai unggul.
Apa yang terjadi atas Prof Karomani tentu lebih dapat dipahami sebagai upaya menjebakkan diri atau bahkan bunuh diri yang dalam tradisi jepang dikenal dengan seppuku (hara-kiri).
Agak sulit dipahami jika sebagai seorang intelektual dengan level paling puncak, seorang profesor kemudian tidak menyadari risiko terberat dari apa yang beliau lakukan.
Korupsi sejatinya merupakan jebakan maut bagi para pejabat dan orang-orang yang berada pada sumbu kekuasaan, siapapun bahkan yang paling baik dan shalih sekalipun.
Sebagaimana adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton Guru Besar Sejarah Modern Universitas Cambridge Inggris “Power tends to corrupt”. Kekuasaan cenderung korup.