JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dinilai masih berorientasi pada pengekangan hak kebebasan berekspresi.
Hal ini sebagaimana hasil kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengenai UU ITE hasil revisi.
“Secara filosofis-normatif, UU Perubahan UU ITE masih berorientasi pada pengekangan hak kebebasan berekspresi daripada optimalisasi perlindungannya,” kata anggota tim kajian sekaligus akademi Universitas Muhamadiyah Malang Cekli S Pratiwi dalam webinar, Rabu (27/7/2022).
Cekli menilai, secara yuridis-normatif, UU ITE saat ini belum menyelesaikan problem. Misalnya, ditemukannya kelemahan sejumlah aspek, baik materil maupun formil.
Baca juga: Alasan MK Tolak Uji Materi Pasal Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian di UU ITE
Di samping itu, hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa UU ITE belum secara tegas dan eksplisit membedakan sejumlah aspek.
Aspek tersebut meliputi lawful expression atau diizinkan dengan pembatasan yang ketat, prohibited ezpression atau ekspresi yang dilarang, dan protected expression atau ekspresi yang harus dilindungi.
Selain itu, UU ITE juga dianggap belum memuat pengaturan mengenai tata kelola internet.
“Siapa yang memiliki wewenang regulasi, harus dipisahkan dengan yang menjalankan regulasi dan melakukan pengawasan,” ujar dia.
“Hal ini untuk mencegah disruption yang hanya market friendly internet goverment, belum mengarah pada human rights-based internet goverment,” imbuh dia.
Saat ini, UU ITE bakal kembali direvisi. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan, Presiden Joko Widodo sudah mengirimkan surpres ke DPR terkait revisi UU ITE pada 16 Desember 2021.
"Surat sudah ditandatangani Presiden, dan surat Presiden tersebut sudah dikirim ke DPR pada 16 Desember 2021 lalu," ujar Mahfud, Jumat (24/12/2021).
Pada Februari 2021 lalu, Presiden Joko Widodo pernah berpesan agar implementasi UU ITE tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Baca juga: Komnas HAM Harap Revisi UU ITE Bisa Beri Kepastian Hukum bagi Masyarakat
Jika hal itu tak dapat dipenuhi, ia akan meminta DPR untuk merevisi UU tersebut.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Jokowi bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. Sebab, menurut dia, pasal-pasal ini menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut.
Sementara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengakui bahwa DPR sudah menerima surpres terkait revisi UU ITE.
Namun demikian, Dasco mengungkapkan, pembahasan revisi UU ITE masih menunggu Komisi I yang merupakan komisi teknis di bidang informasi dan komunikasi. Sebab, diakui Dasco, Komisi I justru kini masih fokus dalam pembahasan RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
"Komisi I itu masih menyelesaikan fokus menyelesaikan UU PDP sehingga kita minta mereka menyelesaikan undang-undang ini tersebut baru kemudian masuk UU ITE," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.