JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan penyelewengan dana lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) memasuki babak baru.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan polisi, pendiri sekaligus mantan Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT yang kini menjabat, Ibnu Khajar, ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini bergulir cepat. Polisi menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka tak sampai satu bulan sejak kasus ini terungkap ke publik.
Berikut perjalanan kasus dugaan penyelewengan dana ACT sejak awal hingga update terkini.
Baca juga: Bareskrim Tetapkan Ahyudin dan Ibnu Khajar Tersangka Penyelewengan Dana ACT
Dugaan penyelewengan dana di tubuh ACT pertama kali terungkap melalui laporan jurnalistik Majalah Tempo.
Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa para petinggi yayasan ACT, khususnya Ahyudin, diduga bermewah-mewahan menggunakan uang hasil sumbangan masyarakat.
Setelah ramai diperbincangkan, manajemen ACT akhirnya meminta maaf. Permintaan maaf itu disampaikan oleh Presiden ACT yang kini menjabat, Ibnu Khajar.
"Kami sampaikan permohonan maaf atas pemberitaan ini," katanya dalam konferensi pers di kantor pusat ACT, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (4/7/2022).
Baca juga: Berbagai Dugaan Penyelewengan Dana ACT yang Diungkap PPATK dan Polri
Ibnu Khajar tak secara tegas membantah dugaan penyelewengan di yayasan yang ia pimpin, tetapi juga tidak membenarkan.
Kata Ibnu, laporan tersebut sebagian berisi kebenaran, sisanya berisi isu yang dia sendiri tidak tahu sumbernya dari mana.
Kendati demikian, Ibnu membenarkan bahwa para petinggi ACT diganjar gaji ratusan juta rupiah hingga difasilitasi mobil mewah.
Namun demikian, imbalan fantastis itu pada akhirnya dikurangi karena donasi yang masuk ke ACT berkurang.
"Jadi kalau pertanyaan apa sempat berlaku (gaji Rp 250 juta), kami sempat memberlakukan di Januari 2021 tapi tidak berlaku permanen," jelas Ibnu.
Oleh karena kondisi keuangan yang memburuk, pada September 2021 ACT memutuskan mengurangi gaji seluruh karyawan.
Ibnu pun mengaku dirinya mendapat gaji tidak lebih dari Rp 100 juta setiap bulan.
Terkait dengan pemotongan uang sumbangan hingga Rp 13,7 persen, Ibnu berdalih, dana tersebut digunakan untuk operasional, termasuk membayar gaji karyawan dan para petinggi ACT.
Ibnu pun beralasan, ACT tak mengikuti aturan pemotongan donasi lembaga zakat infak sedekah lantaran bukan merupakan lembaga pengumpul sumbangan, melainkan lembaga swadaya masyarakat.
"Kami perlu sampaikan di forum ini bahwa ACT adalah lembaga kemanusiaan yang memiliki izin dari Kemensos, bukan lembaga amil zakat yang izinnya dari Baznas atau Kemenag," terangnya.
Baca juga: Polri: ACT Potong Donasi 10-20 Persen untuk Gaji Karyawannya