JAKARTA, KOMPAS.com - Perjalanan ibadah haji di era pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat jauh berbeda dengan saat ini.
Selain itu, menurut sejarawan Asep Kambali, pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat ketat mengawasi para jemaah haji yang kembali dari Makkah, Arab Saudi.
Menurut Asep, di masa kolonial Hindia Belanda, para jemaah haji yang berangkat dan pulang wajib melakukan karantina masing-masing selama 3 bulan.
Lokasi karantina jemaah haji masa kolonial berada di Pulau Cipir, Pulau Onrust, Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Seluruh pulau itu saat ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu.
Baca juga: Awal Mula Gelar Haji dan Cara Penjajah Awasi Benih Pemberontak
Saat itulah, kata Asep, aparat keamanan Hindia Belanda akan melakukan pengawasan terkait siapa saja jemaah haji tindak-tanduknya dinilai membahayakan pemerintah.
Bahkan menurut dia, aparat keamanan Hindia Belanda tidak segan untuk mengeksekusi umat Muslim yang pulang selepas ibadah haji jika terindikasi bakal menjadi tokoh yang menentang mereka.
"Mereka yang pulang dari ibadah haji punya kebiasaan bawel, cerewet, enggak segan-segan penjajah langsung mengeksekusi," kata Asep dalam rekaman video yang diberikan, seperti dikutip Kompas.com, Senin (25/7/2022).
Asep mengatakan, di awal abad ke-20 mulai bermunculan berbagai paham yang menjadi cikal bakal perlawanan penduduk di wilayah koloni terhadap pemerintah penjajah yang didominasi bangsa Eropa.
Paham yang mulai bergeliat dan menyebar pada saat itu adalah Pan-Islamisme dan Komunisme.
Baca juga: Jangan Panggil Saya Pak Haji
"Kedua paham itu yang sangat dikhawatirkan dan ditakuti oleh pemerintah kolonial hindia belanda penjajah," ujar Asep.
Pan-Islamisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Konsep dasar Pan-Islamisme dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke-19 Masehi.
Pokok-pokok pemikiran Pan-Islamisme adalah musuh utama kemajuan umat Islam adalah penjajahan bangsa Barat.
Kemudian umat Islam harus menentang penjajahan dimanapun dan kapanpun.
Baca juga: Antrean Haji di Malaysia 141 Tahun, Apa Penyebabnya dan Bagaimana dengan Indonesia?
Selain itu umat Islam harus memiliki persatuan ideologi untuk memajukan peradaban Islam.
Sedangkan tujuan yang hendak dicapai gerakan Pan-Islamisme adalah
menghapuskan penjajahan bangsa Barat terhadap umat Islam, serta menghilangkan sifat kesukuan dan golongan untuk mempersatukan umat Islam.
Selain itu tujuan Pan-Islamisme adalah hendak membangkitkan solidaritas antar umat Islam yang bernasib sengsara karena dominasi bangsa Barat.
Tujuan lain dari Pan-Islamisme adalah membangun sebuah sistem pemerintahan Khilafah untuk memajukan peradaban Islam.
Asep mengatakan, pada masa kolonial umat Muslim dari Hindia Belanda dan wilayah lain juga sambil menimba ilmu selepas menunaikan ibadah haji.
Baca juga: Masa Tunggu Haji di Malaysia 141 Tahun, Kemenag RI: Masyarakat Indonesia Lebih Beruntung
Maka dari itu para jemaah haji bisa berada di Tanah Suci Makkah hingga lebih dari 4 bulan, sebelum akhirnya pulang.
Dari proses belajar kepada sejumlah ulama itulah pemikiran tentang semangat anti-penjajahan ditularkan.
Maka dari itu, sejumlah tokoh-tokoh Islam mendirikan organisasi selepas pulang dari ibadah haji.
Mereka adalah KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912.
Kemudian, KH Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926.
Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam usai ibadah haji pada 1905.
Baca juga: Evaluasi Haji 2022 dan Kritik Pemerintah hingga DPR
Oemar Said Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912.
Seluruh organisasi itu berkembang dan jumlah anggotanya semakin besar.
"Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini mengkhawatirkan pihak Belanda karena para tokoh yang kembali dari ibadah haji dianggap sebagai seorang yang suci," ujar Asep.
Tokoh-tokoh dari seluruh organisasi Islam itu juga yang turut berjuang untuk merebut kemerdekaan dari Belanda.
Maka dari itu, kata Asep, pemerintah Hindia Belanda memutuskan memberi gelar haji kepada orang-orang yang pulang dari Tanah Suci supaya mudah diawasi jika terlibat gerakan menentang penjajahan mulai 1916.
Baca juga: 386 Jemaah Haji asal Tangsel Tiba di Tanah Air, Wali Kota Minta Kondisi Kesehatan Dipantau
"Karena itulah para haji diyakini akan lebih didengar oleh penduduk awam yang ada di Hindia Belanda," ucap Asep.
Hal itulah, kata Asep, yang melatarbelakangi keputusan pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar bagi masyarakat yang pulang selepas menunaikan ibadah haji.
Akan tetapi, saat ini gelar haji yang disematkan lebih condong kepada bentuk penghormatan bagi seseorang yang menunaikan rukun Islam kelima itu.
(Penulis : Gama Prabowo | Editor : Serafica Gischa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.