JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat 21 tahun lalu, yakni pada Senin, 23 Juli 2001, Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden RI ke-4.
Pemberhentian itu terjadi usai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang saat itu dipimpin Amien Rais, menolak dekrit presiden yang dikeluarkan Gus Dur pada Senin dini hari.
Mantan wartawan Harian Kompas, Joseph Osdar, yang saat itu bertugas meliput di Istana Kepresidenan membagikan cerita mengenai suasana di Istana sebelum dan setelah Gus Dur dilengserkan.
Baca juga: Disanjung lalu Dijatuhkan, Kisah Gus Dur Dilengserkan MPR 21 Tahun Lalu
Osdar menyampaikan, rangkaian peristiwa saat itu datang silih berganti secara cepat dalam waktu sekitar sepekan.
Dia pun menyebutkan, suasana kebatinan para wartawan Istana saat itu tidak lepas dari perasaan tegang, bingung, tetapi harus siaga.
Ketegangan pun bertambah ketika aktivitas para staf Istana menjadi lebih sibuk dari biasanya. Sementara itu, massa pendukung Gus Dur memadati kawasan depan Istana, tepatnya Medan Merdeka Utara.
Ada pula pasukan TNI yang berada di sekitar lokasi tersebut beserta tank yang diarahkan ke Istana.
"Staf-staf mondar-mandir. Tamu-tamu berdatangan. Perasaan bingung tentu ada, tapi kami tentu juga kepikiran nasib bangsa akan seperti apa," ujar Osdar ketika berbincang dengan Kompas.com di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (22/7/2022).
Osdar menceritakan, rekan-rekan wartawan Istana pada saat itu sudah standby sejak Sabtu 21 Juli 2001 di Istana. Para wartawan menginap pada Sabtu, Minggu hingga Senin malam.
Baca juga: Surat Sakti Lurah Gambir yang Buat Gus Dur Tinggalkan Istana
Tak lain karena situasi politik yang saat itu sedang genting, sehingga awak media harus tetap berjaga di lapangan.
Terlebih, Amien Rais telah mengumumkan akan mempercepat jadwal sidang istimewa untuk menentukan nasib Gus Dur.
"Sabtu malam Minggu, kemudian Minggu sampai Senin menginap di Istana. Protokoler di Istana waktu itu sudah tak begitu ketat, banyak tamu datang yang mendukung Gus Dur," katanya.
Baca juga: Saat Gus Dur Digoyang Skandal Buloggate-Bruneigate...
Bahkan saking sudah longgarnya protokoler, para wartawan yang bersiaga bisa duduk-duduk di tangga Istana Merdeka.
Mereka menunggu siapa saja tamu yang datang dan memantau aktivitas apa yang dilakukan Gus Dur.
Osdar mengungkapkan, pada 22 Juli 2001 malam, sebelum dekrit presiden dikeluarkan, Gus Dur sempat marah.
Kemarahan itu tak lain karena tokoh Nahdatul Ulama (NU) tersebut mendengar ada pihak yang menyatakan sanggup berani mati memberikan dukungan kepadanya.
"Gus Dur tidak senang ada seperti itu. Beliau tidak ingin ada perpecahan," tutur Osdar.
Akhirnya, dekrit presiden diterbitkan pada 23 Juli pukul 01.05 dini hari. Dekrit presiden dibacakan oleh salah satu juru bicara Gus Dur ketika itu, Yahya Staquf.
Dekrit tersebut berisi tiga poin, yakni pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, serta pembekuan Partai Golongan Karya (Golkar).
Dekrit Presiden 23 Juli 2001 dinyatakan tidak berfungsi setelah MPR menggelar Sidang Istimewa.
MPR menyatakan bahwa Gus Dur sudah melanggar Tap MPR No. III/MPR/2000, karena memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR.
Selain itu, banyaknya masalah yang terjadi pada masa kepemimpinannya juga membuat Gus Dur diturunkan dari jabatannya.
MPR kemudian mengangkat Megawati Soekarnoputri yang saat itu masih menjadi wakil presiden sebagai Presiden RI ke-5.
Joseph Osdar mengungkapkan, Senin 23 Juli 2001 merupakan hari yang sangat bersejarah.
Di hari itu rangkaian peristiwa penting terjadi sejak dini hari hingga malam hari.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.