ADA hantu yang menakutkan dunia. Hantu itu adalah kebangkrutan ekonomi. Sri Langka telah memulai nestapa itu, menyusul lima belas negara lain dengan segala kemungkinan.
Laos, Pakistan, Maladewa, Bangladesh berada dalam daftar negara yang berada diambang krisis menurut Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva.
Tentu ada banyak kajian ekonomi di tengah ancaman ini yang merupakan arena para pakar ekonomi dan keuangan.
Sorotan ini melihat krisis ekonomi sebagai babak-babak yang terus menerus akan dialami manusia secara lebih cepat dari waktu ke waktu.
Kecepatan ini tidak lain juga karena dunia yang kian datar, the world is Flat, sebagaimana pernyataan Thomas L. Friedman.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, boleh jadi ada dua krisis (ekonomi) besar yang melanda negeri ini, yaitu krisis (ekonomi) tahun 1960-an yang berujung tumbangnya Presiden Sukarno. Dan Krisis moneter juga mengakhiri kekuasaan Presiden Suharto tahun 1998.
Pada dua krisis itu persoalan internal dan eksternal memicu tumbangnya kekuasaan. Kemelut politik tahun 1960-an antara berbagai faksi dalam tubuh politik Indonesia berpuncak pada tragedi nasional 30 September atau 1 Oktober 1965.
Sekurang-kurangnya ada lima versi pelaku di balik perisitiwa ini sebagaimana dikatakan Salim Said dalam Buku Dari Gestapu ke Reformasi (2013).
Berikut kelima pelaku menurut Pengamat Militer ini: Orde Baru mengatakan PKI; PKI dan para para ahli Indonesia di Cornell University mengatakan akibat pertentangan internal Angkatan Darat; Peter Dale Scott mengatakan CIA; Wertheim menyebut Suharto; dan Presiden Sukarno mengatakan PKI, Tentara, dan Nekolim.
Peristiwa ini menimbulkan gelombang protes besar terhadap pemerintahan Sukarno yang oleh Salim Said disebut tiga hijau.
Hijau pertama adalah para mahasiswa yang masih hijau; hijau kedua adalah Islam yang berbendera hijau; dan hijau ketiga adalah tentara yang berseragam hijau (Salim Said, Soeharto dan Militer, dalam buku, Muhamad Hisyam (peny.), Krisis Masa Kini dan Orde Baru, 2003)
Protes ini tak lepas dari kemerosotan ekonomi yang parah, inflasi melambung pada era akhir era Sukarno dan berulang kembali saat akhir era Suharto dengan krisis moneter yang parah.
Sukarno tampaknya dibiarkan terhuyung, terkapar dan akhirnya jatuh tanpa sedikitpun bantuan dari dunia Barat.
Namun, bukan berarti Barat tak peduli dengan Indonesia. Bantuan itu secara diam-diam dipercayakan kepada Suharto yang lebih mendapat tempat di dunia Barat.
Hal ini bisa dilihat dari langkah-langkah yang dilakukan Suharto di mana pada Juli 1966 mengundang IMF untuk membantu perekonomian Indonesia.