JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, Indonesia tidak terlepas dari ancaman subvarian Omicron BA.2.75, utamanya untuk kelompok berisiko tinggi.
Peneliti Global Health Security ini melihat, ancaman subvarian Omicron BA.2.75 jelas muncul karena beberapa alasan.
Pertama, tingginya interaksi masyarakat. Kedua, tingginya perjalanan yang dilakoni masyarakat.
Hal ini kata Dicky, membuat subvarian BA.2.75 jadi lebih cepat menular dan menjangkiti masyarakat.
Baca juga: Seputar Omicron BA.2.75, Centaurus yang Mulanya Mewabah di India
"Ancamannya ada, jelas. Serius. Terutama untuk kelompok yang berisiko tinggi. Bukan hanya lansia, tapi yang komorbid, anak di bawah 5 tahun termasuk," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Rabu (20/7/2022).
Dicky menuturkan, ancaman semakin nyata lantaran minimnya pelacakan dan pemeriksaan (tracing and testing) di Indonesia.
Selain itu, cakupan vaksinasi dosis ketiga (booster) juga terbilang rendah.
"Sebagian dari kita memang mengalami penurunan dalam hal proteksi atau imunitas. Setelah mungkin dua dosis sudah (diterima) berapa lama, kemudian belum sempat dibooster," tutur Dicky.
Dicky menjelaskan, berbeda dari varian sebelumnya, BA.2.75 memiliki kemampuan infeksi dan penularan yang jauh lebih cepat. Pertumbuhan virus pun jauh lebih cepat dibanding BA.4 dan BA.5.
Fenomena cepatnya penularan ini tampak di India. Di negara tersebut, virus sudah berkembang pada Juni setelah terdeteksi masuk di bulan Mei 2022.
"Yang BA.5 saja sudah di atas subvarian-subvarian of concern lainnya. Ini menjadi pesan penting bahwa di tengah vaksinasi atau imunitas yang jauh lebih besar, dia bisa bersirkulasi," ucap Dicky.
Baca juga: Mengenal Gejala Infeksi Subvarian Omicron BA.2.75 Centaurus
Di samping itu, varian BA.2.75 mampu menginfeksi ulang (reinfeksi) orang yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 dan orang yang sudah mendapat vaksin dosis ketiga (booster).
Meski begitu, gejala pada orang yang mendapat vaksin hingga dosis ketiga akan lebih ringan dan tidak dilarikan ke fasilitas-fasilitas kesehatan (faskes) maupun rumah sakit (RS).
"Semakin mudah menginfeksi itu menandakan kemampuannya luput dari deteksi antibodi semakin besar. Ini yang berbahaya. Dalam artian bila kita biarkan, akan bisa mengurangi efektivitas vaksin yang ada, obat yang ada, kalau kita tidak melakukan strategi pencegahan secara komprehensif," ucap dia.
Untuk mencegahnya, kata Dicky, masyarakat perlu mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan 3T (testing, tracing, treatment), memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan mengakses vaksinasi dosis lengkap.
Menurut Dicky, strategi pencegahan itu efektif menahan virus untuk bermutasi menjadi varian-varian baru lain yang lebih berbahaya.
Baca juga: Fakta-fakta Covid-19 Subvarian Omicron BA.2.75 Centaurus di Indonesia
"Ketika mutasi itu dibiarkan terus terjadi, maka yang rugi adalah kita. Karena yang tadinya waktu delta orang tervaksinasi 2 dosis sudah tidak terdampak, sekarang mau 3 dosis sekalipun bisa terinfeksi karena distribusi cakupan vaksinasi gagal," sebut Dicky.
"Namun kabar baiknya adalah vaksin itu efektif dalam mencegah keparahan kematian, vaksin itu bisa mengurangi sedikit kecepatan penularan," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.