JAKARTA, KOMPAS.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Eks Direktur Utama PT Krakatau Steel berinisial FB dan 4 tersangka lainnya sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan pablik Blast Furnace Complex (BFC) di PT Krakatau Steel.
Dalam kasus ini, Kejagung tidak menahan FB di dalam rumah tahanan, namun Eks Direktur Utama PT Krakatau Steel itu dijadikan tahanan kota.
“FB menjadi tahanan kota selama 20 hari terhitung sejak tanggal 18 Juli 2022 sampai dengan 6 Agustus 2022,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Selasa (19/7/2022).
Adapun hal itu berdasarkan Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Nomor: Prin-26/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 18 Juli 2022.
Baca juga: Kasus Korupsi Pembangunan Pabrik BFC PT Krakatau Steel Diduga Rugikan Negara Rp 6,9 Triliun
Sementara itu, 4 tersangka lainnya telah dilakukan penahanan di dalam rumah tahanan selama 20 terhitung sejak tanggal 18 Juli 2022 sampai dengan 6 Agustus 2022.
Tersangka ASS selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2005 s.d 2010 dan Deputi Direktur Proyek Strategis 2010 sampai 2015 dilakukan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Lalu, tersangka BP selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012 sampai 2015 dilakukan penahanan di Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat Salemba.
Tersangka HW alias RH selaku Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek Blast Furnace tahun 2011 dan General Manager Proyek PT KS dari Juli 2013 sampai Agustus 2019 ditahan di Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat Salemba.
Selanjutnya, tersangka MR selaku Project Manager PT Krakatau Engineering periode 2013 sampai 2016 ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Baca juga: Kejagung Usut Dugaan Korupsi Pembangunan Pabrik Blast Furnance PT Krakatau Steel
Adapun Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan kasus ini diduga telah merugikan negara senilai Rp 6,9 triliun.
Burhanuddin menjelaskan bahwa PT KS pada 2007 menyetujui pengadaan pabrik BFC. Di pengadaan itu pemenang kontraktornya adalah MCC CERI konsorsium dan PT Krakatau Engineering yang merupakan anak perusahaan dari PT Krakatau.
Namun, menurutnya, pengadaan tersebut dilakukan secara melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 6,9 triliun.
"Yang seharusnya MCC CERI melakukan pembangunan sekaligus pembiayaannya namun pada kenyataannya dibiayai oleh konsorsium dalam negeri atau himbara dengan nilai kontrak pembangunan pabrik BFC dengan sistem terima jadi sesuai dengan kontrak awal Rp 4,7 triliun hingga addendum keempat membengkak menjadi Rp 6,9 triliun," ungkap Burhanuddin.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.