JAKARTA, KOMPAS.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pembangunan pabrik Blast Furnace Complex PT Krakatau Steel (PT KS).
Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin mengatakan, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan temuan alat bukti yang cukup.
“Senin 18 Juli 2022, tim penyidik telah menemukan alat bukti yang cukup dan menetapkan lima orang tersangka,” kata Burhanuddin dalam keterangan videonya seperti dikutip, Selasa (19/7/2022).
Baca juga: Kasus Krakatau Steel, Petinggi Tjokro Group Menyerahkan Diri ke KPK
Para tersangka itu adalah FB selaku Direktur Utama PT Krakatau Steel periode 2007 sampai 2012.
Kemudian, ASS selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2005 sampai dengan 2010 dan Deputi Direktur Proyek Strategis 2010 sampai dengan 2015.
Ketiga, MR selaku Project Manager PT Krakatau Engineering periode 2013 sampai dengan 2016. Lalu, BP selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012 sampai 2015.
Terkahir, HW alias RH selaku Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek Blast Furnace tahun 2011 dan General Manager Proyek PT KS dari Juli 2013 sampai dengan Agustus 2019.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, serta jo Pasal 55 Ayat 1 ke- 1 KUHP.
Para tersangka ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung dan Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat Salemba. Namun, hanya FB yang menjadi tahanan kota sejak 18 Juli hingga 6 Agustus 2022.
Baca juga: Kejagung Usut Dugaan Korupsi Impor Garam di Kemendag Tahun 2016-2022
Burhanuddin menyampaikan bahwa PT KS pada 2007 menyetujui pengadaan pabrik BFC. Dalam pengadaan itu, pemenang kontraktornya adalah MCC CERI konsorsium dan PT Krakatau Engineering yang merupakan anak perusahaan dari PT Krakatau.
Namun, menurut dia, pengadaan tersebut dilakukan secara melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar 6,9 triliun.
"Yang seharusnya MCC CERI melakukan pembangunan sekaligus pembiayaannya namun pada kenyataannya dibiayai oleh konsorsium dalam negeri atau himbara dengan nilai kontrak pembangunan pabrik BFC dengan sistem terima jadi sesuai dengan kontrak awal Rp 4,7 triliun hingga addendum keempat membengkak menjadi Rp 6,9 triliun," ungkap Burhanuddin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.