JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mendalami adanya dugaan penyelewengan dana di lembaga filantropis Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Pihak kepolisian pun memeriksa dua petinggi yang pernah menjabat di ACT, yakni mantan Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT yang menjabat saat ini, Ibnu Khajar.
Dugaan penyelewengan ini awalnya mencuat setelah majalah Tempo membuat laporan jurnalistik yang berjudul "Kantong Bocor Dana Umat".
Salah satu yang diungkapkan terkait sejumlah fasilitas mewah berupa mobil operasional jenis Alphard dan penggunaan dana donasi untuk operasional yang berlebihan.
Baca juga: Penutupan 300 Rekening ACT dan Dugaan Penyelewengan Dana Korban Kecelakaan Lion Air
Hal ini kemudian diusut oleh pihak kepolisian. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan mengatakan, penyelidikan dilakukan dari adanya laporan masyarakat serta temuan polisi di lapangan.
"Laporan masyarakat serta temuan Polri di lapangan juga menjadi dasar penyidik untuk melakukan penyelidikan dugaan perkara ACT," kata Whisnu saat dikonfirmasi, Kamis (7/7/2022).
Ahyudin dan Ibnu Khajar dipanggil untuk dimintai klarifikasi soal dugaan penyelewengan di lembaga ACT saat kepemimpinan mereka.
Pemeriksaan berlanjut hari ini
Pemeriksaan mereka pertama kali dilakukan pada Jumat (8/7/2022). Penyidik memastikan keduanya telah hadir dalam pemeriksaan.
Kendati demikian, proses pemeriksaan belum selesai sehingga dilanjutkan kembali pada Senin (11/7/2022) hari ini.
“Dua-duanya (Ahyudin dan Ibnu) masih lanjut pemeriksaan hari Senin,” kata Kepala Sub-Direktorat (Kasubdit) IV Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Andri Sudarmaji saat dikonfirmasi, Sabtu (9/7/2022).
Baca juga: Berbagai Dugaan Penyelewengan Dana ACT yang Diungkap PPATK dan Polri
Pada Jumat, Ahyudin terpantau diperiksa sekitar lebih dari 12 jam. Ia terpantau tiba di Bareskrim Polri pukul 10.35 WIB dan keluar pukul 23.30 WIB.
Ia mengaku dicecar sekitar 22 pertanyaan. Menurutnya, ia banyak ditanyakan terkait legalitas yayasan ACT.
Kemudian ia juga diperiksa soal tugas dan tanggung jawabnya saat memimpin ACT. Ia mengaku belum mendapat pertanyaan soal aliran dana di lembaga filantropis itu.
"Jadi sejak dari pagi hingga malam ini pertanyaan masih seputar legal yayasan, tugas, tanggung jawab seperti itu sih dan belum selesai," kata Ahyudin di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat.
Gelapkan donasi korban pesawat Lion Air
Selama proses penyelidikan, pihak kepolisian menemukan adanya dugaan penyalahgunaan dana sosial atau CSR untuk korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 tahun 2018.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyebutkan, diduga ACT pernah melakukan penyimpangan sebagian dana sosial atau CSR dari pihak Boeing untuk kepentingan pribadi dan pembayaran gaji pegawai.
Ramadhan menjelaskan, Yayasan ACT pernah mendapat rekomendasi dari 68 ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 yang terjadi pada tanggal 18 Oktober 2018.
Isi rekomendasi itu ACT diminta mengelola dana sosial atau CSR kepada korban. Total dana CSR yang harus disalurkan ACT kepada para korban sebesar Rp 138.000.000.000.
Baca juga: Kasus Penyelewengan Dana ACT, Pakar Hukum Tata Negara Minta UU Pengumpulan Uang Direvisi
Lebih lanjut, seharusnya kompensasi santunan kepada ahli waris korban diberikan sebesar Rp 2,06 miliar. Namun, penyidik Bareskrim menduga pihak ACT tidak merealisasikannya secara penuh.
Pihak ACT juga disebutkan tidak memberitahukan realisasi jumlah CSR serta progres pekerjaan yang dikelolanya dari pihak Boeing kepada ahli waris korban.
Ramadhan menyebutkan, sebagian dana sosial itu justru dipakai untuk pembayaran gaji pimpinan dan staf di ACT.
Bahkan, juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan atau kepentingan pribadi Ketua Pengurus atau Presiden Ahyudin dan Ibnu Khajar yang saat itu menjabat Wakil Ketua Pengurus.
“Sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi,” ucap Ramadhan pada Sabtu.
Baca juga: Polri: ACT Potong Donasi 10-20 Persen untuk Gaji Karyawannya
Tak hanya itu, polisi juga menemukan dugaan bahwa ACT memotong 10 hingga 20 persen dana sosial atau CSR yang dikelolanya dari para pemberi donasi, baik individu, lembaga atau perusahaan.
Menurut Ramadhan, dana CSR biasanya terkumpul sekitar Rp 60 miliar setiap bulannya, kemudian dipotong untuk untuk menggaji karyawan dan biaya operasional pembina dan pengawas ACT.
“Langsung dipangkas atau dipotong oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebesar 10 persen – 20 persen (Rp 6.000.000.000 – Rp 12.000.000.000) untuk keperluan pembayaran gaji pengurus, dan seluruh karyawan,” kata Ramadhan.
Aliran dana ke anggota Al-Qaeda
Selain dipakai untuk kepentingan pribadi, ACT juga diduga pernah menyalurkan dana ke aktivitas terorisme. Hal ini berdasarkan temuan yang diperoleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menduga ada aliran transaksi keuangan dari rekening Yayasan ACT ke anggota Al-Qaeda.
Baca juga: Kemana Arah Filantropi Indonesia Pasca-Kasus ACT?
Ivan menyebutkan, anggota Al-Qaeda tersebut merupakan satu dari 19 anggota yang pernah ditangkap pihak keamanan Turki.
“Yang bersangkutan pernah ditangkap, menjadi salah satu dari 19 orang yang ditangkap oleh kepolisian di Turki karena terkait Al-Qaeda,” kata Ivan dalam jumpa pers di Kantor PPATK, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Ivan menduga bahwa transaksi tersebut dilakukan oleh salah satu pegawai ACT. Hal ini juga masih terus melakukan kajian terhadap transaksi keuangan tersebut.
Secara terpisah, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiterror Polri juga tengah mendalami soal dugaan tersebut.
Baca juga: ACT: Bersama atau Tanpa Kami Tetap Lanjutkan Kedermawananmu
"Densus 88 secara intensif sedang bekerja mendalami transaksi-transaksi tersebut," kata Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Densus 88 Kombes Pol Aswin Siregar saat dikonfirmasi, Kamis (7/7/2022).
Aswin mengatakan, PPATK telah mengirimkan data transaksi mencurigakan yang diduga terindikasi tindak pidana pendanaan terorisme kepada Densus 88.
Menurut Aswin indikasi itu, diduga karena adanya aliran dana ke beberapa wilayah atau negara berisiko tinggi yang merupakan hotspot atau tempat aktivitas terorisme.
"Data yang dikirim oleh PPATK bersifat penyampaian informasi kepada stakeholder terkait untuk dilakukan verifikasi lebih lanjut," ucapnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.