Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Penyelewengan Dana ACT, Pakar Hukum Tata Negara Minta UU Pengumpulan Uang Direvisi

Kompas.com - 09/07/2022, 19:56 WIB
Rahel Narda Chaterine,
Ivany Atina Arbi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti meminta agar pemerintah merevisi aturan yang mengatur soal pengumpulan dana atau sumbangan setelah ramai isu penyelewengan dana oleh lembaga filantropis Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Adapun aturan yang dimaksudkannya itu yakni Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

"Seharusnya momentum ini pemerintah dan DPR buru-buru koreksi UU-nya dibuat sistem lebih akuntabel," kata Bivitri di acara virtual bertajuk 'Polemik Pengelolaan Dana Filantropi', Sabtu (9/7/2022).

Menurut dia, aturan soal pengumpulan dana yang berlaku saat ini perlu diperbaharui.

Baca juga: Polri: ACT Potong Donasi 10-20 Persen untuk Gaji Karyawannya

Bivitri juga berpandangan keputusan Kementerian Sosial (Kemensos) mencabut izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) ACT tidak akan menyelesaikan masalah.

"Harusnya tidak sekedar cabut izin itu tidak menyelesaiakan masalah. Sebab orang yang diduga menyelewengkan dana sudah disuruh mundur, dan sekarang bikin organisasi baru. Kan masalahnya diduga ada di orang itu," ucapnya.

Ia menambahkan, pemerintah perlu hadir dalam menyelesaikan permasalahan seperti yang terjadi di ACT.

Apalagi, menurutnya, lembaga filantropi merupakan salah satu sarana yang bisa membantu masyarakat mensejahterakan rakyat.

Baca juga: Dana Sosial Keluarga Korban Lion Air Diduga untuk Gaji Petinggi dan Staf ACT

Oleh karena itu, kata Bivitri, pemerintah harus membantu lembaga filantropi dengan cara membuatnya lebih akuntabel dengan merevisi undang-undang.

"Karena salah satunya filantropi itu esensial untuk demokrasi karena sebenarnya filantropi membagi pertanggung jawaban dengan pemerintah yang tujuan negara pasti salah satunya di pembukaan UUD 1945 mencegah kesusahan rakyat," tutur Bivitri.

Diketahui, dugaan penyelewengan dana di ACT ini awalnya mencuat karena majalah Tempo membuat laporan jurnalistik yang berjudul "Kantong Bocor Dana Umat".

Laporan itu isinya mengungkap dugaan penyelwengan atau penilapan uang donasi oleh petinggi ACT.

Baca juga: [POPULER NASIONAL] Eks Presiden ACT Diperiksa di Bareskrim | Jokowi Berduka atas Shinzo Abe

Dalam laporan tersebut diketahui bahwa petinggi ACT disebut menerima sejumlah fasilitas mewah berupa mobil operasional jenis Alphard dan penggunaan dana donasi untuk operasional yang berlebihan.

Saat ini, pihak kepolisian juga sedang menyelidiki dugaan itu. Salah satu hasil penyelidikan yang diperoleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri adalah ACT memotong dana sosial atau CSR yang dikelolanya sebesar 10-20 persen untuk menggaji pegawainya.

Dari jumlah donasi CSR yang terkumpul sekitar Rp 60 miliar setiap bulannya, pihak ACT melakukan pemotongan sekitar Rp 6 miliar hingga Rp 20 miliar.

“Langsung dipangkas atau dipotong oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebesar 10 persen – 20 persen (Rp. 6.000.000.000 – Rp. 12.000.000.000) untuk keperluan pembayaran gaji pengurus, dan seluruh karyawan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dalam keterangan tertulis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Nasional
Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Nasional
UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang 'DKI'

UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang "DKI"

Nasional
Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Nasional
Puan Sebut Antar Fraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Puan Sebut Antar Fraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Nasional
Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Nasional
Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Nasional
Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Nasional
KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

Nasional
Bos Freeport Wanti-Wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun Jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Bos Freeport Wanti-Wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun Jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Nasional
Sidang Sengketa Pilpres, KPU 'Angkat Tangan' soal Nepotisme Jokowi yang Diungkap Ganjar-Mahfud

Sidang Sengketa Pilpres, KPU "Angkat Tangan" soal Nepotisme Jokowi yang Diungkap Ganjar-Mahfud

Nasional
KPU Anggap Ganjar-Mahfud Salah Alamat Minta MK Usut Kecurangan TSM

KPU Anggap Ganjar-Mahfud Salah Alamat Minta MK Usut Kecurangan TSM

Nasional
KPU: Anies-Muhaimin Lakukan Tuduhan Serius MK Diintervensi

KPU: Anies-Muhaimin Lakukan Tuduhan Serius MK Diintervensi

Nasional
Penguasaha Pemenang Tender Proyek BTS 4G Didakwa Rugikan Negara Rp 8 Triliun

Penguasaha Pemenang Tender Proyek BTS 4G Didakwa Rugikan Negara Rp 8 Triliun

Nasional
KPU: Anies-Muhaimin Tak Akan Gugat Pencalonan Gibran jika Menang Pemilu

KPU: Anies-Muhaimin Tak Akan Gugat Pencalonan Gibran jika Menang Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com