JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti meminta agar pemerintah merevisi aturan yang mengatur soal pengumpulan dana atau sumbangan setelah ramai isu penyelewengan dana oleh lembaga filantropis Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Adapun aturan yang dimaksudkannya itu yakni Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
"Seharusnya momentum ini pemerintah dan DPR buru-buru koreksi UU-nya dibuat sistem lebih akuntabel," kata Bivitri di acara virtual bertajuk 'Polemik Pengelolaan Dana Filantropi', Sabtu (9/7/2022).
Menurut dia, aturan soal pengumpulan dana yang berlaku saat ini perlu diperbaharui.
Baca juga: Polri: ACT Potong Donasi 10-20 Persen untuk Gaji Karyawannya
Bivitri juga berpandangan keputusan Kementerian Sosial (Kemensos) mencabut izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) ACT tidak akan menyelesaikan masalah.
"Harusnya tidak sekedar cabut izin itu tidak menyelesaiakan masalah. Sebab orang yang diduga menyelewengkan dana sudah disuruh mundur, dan sekarang bikin organisasi baru. Kan masalahnya diduga ada di orang itu," ucapnya.
Ia menambahkan, pemerintah perlu hadir dalam menyelesaikan permasalahan seperti yang terjadi di ACT.
Apalagi, menurutnya, lembaga filantropi merupakan salah satu sarana yang bisa membantu masyarakat mensejahterakan rakyat.
Baca juga: Dana Sosial Keluarga Korban Lion Air Diduga untuk Gaji Petinggi dan Staf ACT
Oleh karena itu, kata Bivitri, pemerintah harus membantu lembaga filantropi dengan cara membuatnya lebih akuntabel dengan merevisi undang-undang.
"Karena salah satunya filantropi itu esensial untuk demokrasi karena sebenarnya filantropi membagi pertanggung jawaban dengan pemerintah yang tujuan negara pasti salah satunya di pembukaan UUD 1945 mencegah kesusahan rakyat," tutur Bivitri.
Diketahui, dugaan penyelewengan dana di ACT ini awalnya mencuat karena majalah Tempo membuat laporan jurnalistik yang berjudul "Kantong Bocor Dana Umat".
Laporan itu isinya mengungkap dugaan penyelwengan atau penilapan uang donasi oleh petinggi ACT.
Baca juga: [POPULER NASIONAL] Eks Presiden ACT Diperiksa di Bareskrim | Jokowi Berduka atas Shinzo Abe
Dalam laporan tersebut diketahui bahwa petinggi ACT disebut menerima sejumlah fasilitas mewah berupa mobil operasional jenis Alphard dan penggunaan dana donasi untuk operasional yang berlebihan.
Saat ini, pihak kepolisian juga sedang menyelidiki dugaan itu. Salah satu hasil penyelidikan yang diperoleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri adalah ACT memotong dana sosial atau CSR yang dikelolanya sebesar 10-20 persen untuk menggaji pegawainya.
Dari jumlah donasi CSR yang terkumpul sekitar Rp 60 miliar setiap bulannya, pihak ACT melakukan pemotongan sekitar Rp 6 miliar hingga Rp 20 miliar.
“Langsung dipangkas atau dipotong oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebesar 10 persen – 20 persen (Rp. 6.000.000.000 – Rp. 12.000.000.000) untuk keperluan pembayaran gaji pengurus, dan seluruh karyawan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dalam keterangan tertulis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.