JIKA berpatokan pada hasil survei elektabilitas calon presiden setahun terakhir, Ganjar Pranowo adalah kader PDIP satu-satunya yang bercokol di peringkat tiga besar.
Bahkan beberapa kali, Ganjar berada di peringkat teratas mengalahkan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Raihan elektabilitas versi lembaga-lembaga survei tersebut tentu menjadi modalitas politik penting bagi Ganjar saat bernegosiasi dengan Megawati Soekarnoputri dan PDIP.
Sikap Megawati yang sangat bijak dan hati-hati terhadap Ganjar, selain faktor popularitas yang dimiliki Ganjar, adalah juga bukti kematangan politik beliau yang layak diacungi jempol, baik sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di dalam PDIP maupun sebagai tokoh bangsa kelas satu.
Megawati nampaknya sangat menyadari perkembangan politik yang dialami Ganjar dalam beberapa waktu belakangan, yang membuatnya tidak serta-merta memaksakan Puan Maharani sebagai Capres PDIP di ruang publik nasional.
Di sisi lain, terkesan ada "framing" keterbelahan politik antara Ganjar dan Puan tersebut, sehingga banyak pihak akhirnya mencoba memberi penilaian bahwa ada potensi kemunculan dua King Maker di dalam PDIP.
Pertama, Megawati diasumsikan sebagai King Maker untuk Puan Maharani, yang notabene adalah putrinya sendiri. Kedua, Jokowi sebagai "potential King Maker" untuk Ganjar Pranowo.
Penilaian tersebut bisa saja salah. Karena yang nampak di permukaan boleh jadi bukanlah representasi "real politics" yang berlangsung.
Sekalipun sempat terjadi serangan dari beberapa tokoh PDIP kepada Ganjar beberapa waktu lalu, nyatanya Megawati justru tidak memperlihatkan keberatan dan permusuhan politik kepada Ganjar Pranowo, termasuk atas segala perkembangan politik yang menyertai Ganjar dua tahun terakhir.
Megawati nyatanya tidak terpengaruh oleh asumsi keterbelahan tersebut. Dari sikap resmi PDIP dan Megawati yang saya amati, justru Megawati menampakkan sikap kepemimpinan yang sangat inklusif.
Megawati dengan bijak membuka peluang Capres dari PDIP untuk Puan dan Ganjar alias tidak saklek memaksakan salah satu.
Meskipun perjalanan politik Ganjar seringkali dipersepsi oleh para pengamat mulai berseberangan dengan partai yang membesarkannya, PDIP, Megawati dengan kematangan dan kearifan politiknya masih menganggap itu sebagai dinamika politik yang wajar-wajar saja.
Sikap Megawati tersebut jauh melampaui sikap politik pemimpin-pemimpin politik dalam negeri yang cenderung memaksakan satu nama sebagai calon tunggal presiden dari partai mereka.
Keberanian Megawati membuka peluang kepada lebih dari satu nama, meskipun salah satunya adalah putrinya yang semestinya ia utamakan, adalah gambaran pemahaman yang matang atas salah satu konsep penting demokrasi, yakni demokrasi intrapartai.
Dalam kacamata demokrasi intrapartai (interparty democracy), kemunculan satu nama sebagai calon tunggal di dalam konvensi partai justru aneh.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.