JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disampaikan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih mencantumkan pasal penghinaan terhadap pemerintah serta presiden dan wakil presiden yang dinilai kontroversial.
Dalam draf RKUHP terbaru yang disampaikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ke DPR hari ini, Rabu (6/7/2022), ancaman terhadap pihak-pihak yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah dan presiden-wakil presiden tercantum dalam Pasal 240 dan Pasal 241, serta Pasal 218 dan Pasal 219.
Pasal itu yang diprotes oleh kalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil karena dinilai membuat pemerintah antikritik.
Susunan kalimat dan nomor pasal yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah dan presiden-wakil presiden dalam draf RKUHP 2019 dan yang terbaru tidak berubah.
Dalam Pasal 240 disebutkan, setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 2 miliar).
Baca juga: Pemerintah Masukkan Penjelasan Kritik dalam Pasal 218 RKUHP
Sedangkan dalam Pasal 241 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (Rp 500.000.000).
Soal larangan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil
presiden diatur dalam Pasal 218.
Menurut Ayat (1) Pasal 218, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 200.000.000).
Baca juga: Wamenkumham Sebut Masih Ada Waktu untuk Sahkan RKUHP
Lantas pada Pasal 219 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mempertanyakan alasan pemerintah mempertahankan pasal penghinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sebab pasal penghinaan presiden dalam KUHP yang berlaku saat ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MA) pada 2006 silam.
“Di negara demokratis pun (pasal penghinaan presiden) juga masih digunakan, di (beberapa negara) Eropa sendiri ada yang pakai itu,” sebut Maidina dalam program YouTube Gaspol Kompas.com, Selasa (5/7/2022).
“Tapi memang tidak pernah diimplementasikan karena warga negaranya pun sudah enggak sadar, termasuk aparat penegak hukumnya,” ungkapnya.
Baca juga: Politikus PPP Bantah DPR-Pemerintah Tak Terbuka soal Revisi RKUHP
Maidina mengkritisi pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP yang bersifat delik aduan.
Delik itu artinya, pengajuan laporan tentang penghinaan harkat dan martabat presiden ke polisi hanya bisa dilakukan oleh presiden itu sendiri.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.