Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Temuan PPATK, ACT Sengaja Himpun Dana Donasi demi Raup Keuntungan

Kompas.com - 06/07/2022, 16:30 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya pengelolaan dana donasi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang dihimpun dahulu demi meraup keuntungan.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menduga donasi tersebut dihimpun untuk dikelola secara bisnis ke bisnis sebelum akhirnya disalurkan.

“Sehingga, tidak murni menghimpun dana kemudian (lalu) disalurkan kepada tujuan. Tetapi, sebenarnya dikelola dahulu sehingga terdapat keuntungan di dalamnya,” kata Ivan dalam jumpa pers di kantor PPATK, Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Selain itu, PPATK juga menemukan adanya transaksi keuangan yang melibatkan entitas perusahaan dengan Yayasan ACT senilai Rp 30 miliar.

Baca juga: PPATK Duga Ada Aliran Transaksi Keuangan ACT ke Anggota Al-Qaeda

Saat ditelusuri, pemilik entitas perusahaan tersebut ternyata masih salah satu pendiri Yayasan ACT itu sendiri.

“Ternyata transaksi itu berputar antara pemilik perusahaan yang notabene juga salah satu pendiri Yayasan ACT,” ungkap Ivan.

Atas temuan tersebut, PPATK kini memblokir 60 rekening atas nama Yayasan ACT yang tersebar di 33 penyedia jasa keuangan mulai hari ini.

Ivan mengatakan, 60 rekening yang diblokir sudah termasuk yang berafiliasi dengan ACT.

“Kami putuskan untuk menghentikan sementara transaksi atas 60 rekening atas nama Yayasan ACT di 33 penyedia jasa keuangan,” imbuh dia.

Sebelumnya diberitakan, muncul dugaan penilapan uang donasi oleh petinggi ACT melalui laporan jurnalistik Tempo berjudul "Kantong Bocor Dana Umat".

Baca juga: Izinnya Dicabut Kemensos, ACT Akan Buka Suara Sore Ini

Selain itu, dalam laporan tersebut diketahui bahwa petinggi ACT disebut menerima sejumlah fasilitas mewah berupa mobil operasional jenis Alphard dan penggunaan dana donasi untuk operasional yang berlebihan.

Presiden Lembaga ACT, Ibnu Hajar, membenarkan gaji petinggi ACT khususnya jabatan presiden mencapai Rp 250 juta per bulan.

Gaji fantastis itu mulai diterapkan pada awal tahun 2021. Namun, besaran gaji tersebut diturunkan karena donasi berkurang pada September 2021.

Lembaga juga mengakui ada pemotongan sebesar 13,7 persen dari total uang donasi yang diperoleh per tahun. Pemotongan tersebut digunakan untuk operasional, termasuk membayar gaji.

Dia beralasan, banyaknya pemotongan yang dilakukan karena ACT bukanlah lembaga amal, melainkan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Baca juga: PPATK Blokir Sementara 60 Rekening ACT di 33 Penyedia Jasa Keuangan

"Kami perlu sampaikan di forum ini bahwa ACT adalah lembaga kemanusiaan yang memiliki izin dari Kemensos, bukan lembaga amil zakat yang izinnya dari Baznas atau Kemenag. Jadi ini yang perlu kami sampaikan untuk memahami posisi lembaga Aksi Cepat Tanggap. ACT adalah NGO yang sudah berkiprah di 47 negara," ucap dia, Senin (4/7/2022).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketum Projo Nilai 'Amicus Curiae' Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Ketum Projo Nilai "Amicus Curiae" Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Nasional
Operasi Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh, Tersangka Terima Upah Rp 10 Juta per Kilogram

Operasi Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh, Tersangka Terima Upah Rp 10 Juta per Kilogram

Nasional
Ramai Unjuk Rasa jelang Putusan MK, Menko Polhukam: Hak Demokrasi

Ramai Unjuk Rasa jelang Putusan MK, Menko Polhukam: Hak Demokrasi

Nasional
Dampingi Jokowi Temui Tony Blair, Menpan-RB: Transformasi Digital RI Diapresiasi Global

Dampingi Jokowi Temui Tony Blair, Menpan-RB: Transformasi Digital RI Diapresiasi Global

Nasional
Sekjen Gerindra Ungkap Syarat Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Sekjen Gerindra Ungkap Syarat Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Pelaku Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh Sudah Beraksi Lebih dari Satu Kali

Pelaku Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh Sudah Beraksi Lebih dari Satu Kali

Nasional
Menkominfo Ungkap Perputaran Uang Judi 'Online' di Indonesia Capai Rp 327 Triliun

Menkominfo Ungkap Perputaran Uang Judi "Online" di Indonesia Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Bareskrim Usut Dugaan Kekerasan oleh Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal

Bareskrim Usut Dugaan Kekerasan oleh Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal

Nasional
Pengacara Korban Kaji Opsi Laporkan Ketua KPU ke Polisi Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Pengacara Korban Kaji Opsi Laporkan Ketua KPU ke Polisi Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Nasional
Sindir Kubu Prabowo, Pakar: Amicus Curiae Bukan Kuat-Kuatan Massa

Sindir Kubu Prabowo, Pakar: Amicus Curiae Bukan Kuat-Kuatan Massa

Nasional
OJK Sudah Perintahkan Bank Blokir 5.000 Rekening Terkait Judi 'Online'

OJK Sudah Perintahkan Bank Blokir 5.000 Rekening Terkait Judi "Online"

Nasional
Bareskrim Ungkap Peran 7 Tersangka Penyelundupan Narkoba di Kabin Pesawat

Bareskrim Ungkap Peran 7 Tersangka Penyelundupan Narkoba di Kabin Pesawat

Nasional
Pengacara Minta DKPP Pecat Ketua KPU Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Pengacara Minta DKPP Pecat Ketua KPU Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Nasional
Canda Hasto Merespons Rencana Pertemuan Jokowi-Megawati: Tunggu Kereta Cepat lewat Teuku Umar

Canda Hasto Merespons Rencana Pertemuan Jokowi-Megawati: Tunggu Kereta Cepat lewat Teuku Umar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com