Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ombudsman Temukan Malaadministrasi di BPJS Ketenagakerjaan

Kompas.com - 06/07/2022, 13:44 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman Republik Indonesia (RI) menemukan bentuk malaadministrasi dalam pelaksanaan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Bentuk malaadministrasi itu berupa tidak kompeten, penyimpangan prosedur, dan penundaan berlarut.

Baca juga: Ombudsman Temukan Potensi Malaadministrasi pada Proses Peralihan Pegawai BRIN

Anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyebut, temuan itu didapat ketika melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (IAPS) terkait adanya dugaan malaadministrasi BPJS Ketenagakerjaan.

Pelaksanaan dan pengumpulan data informasi investigasi pada bulan Oktober-November 2021 dengan total partisipan penelitian dari 11 kantor wilayah dan 12 Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan.

"Kami menyimpulkan dalam pelaksanaan kepesertaan ini terbukti ada malaadministrasi berupa tidak kompeten, penyimpangan prosedur, dan adanya penundaan berlarut dalam proses pembayaran klaim BPJS Ketenagakerjaan," kata Hery di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Baca juga: Cara Cek Saldo BPJS Ketenagakerjaan secara Online dan Offline

Hery menuturkan, tindakan tidak kompeten itu antara lain, BPJS Ketenagakerjaan tidak optimal dalam mengakuisisi kepesertaan baik pada Pekerja Penerima Upah (PPU), maupun Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Lalu, lemah dalam pengawasan kepatuhan terhadap perusahaan, tidak optimal dalam mengawal pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021, kurangnya program sosialisasi dan edukasi kepada peserta dan masyarakat, serta sumber daya manusia (SDM) pelayanan yang kurang optimal.

Baca juga: Ombudsman Terima 375 Aduan Terkait Seleksi CASN 2021

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi pegawai non-ASN (Aparatur Sipil Negara) yang bekerja di instansi pemerintahan perlu menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.

Instruksi presiden ini, kata Hery, perlu penyelarasan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2015 yang terdapat pengaturan tentang pembatasan kepesertaan, yaitu pengatur kepesertaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara.

"Hal tersebut berpotensi terjadi tindakan malaadministrasi berupa penyimpangan prosedur oleh penyelenggara negara dan BPJS Ketenagakerjaan bila Inpres tersebut menjadi dasar akuisisi kepesertaan bagi non-ASN yang bekerja pada instansi pemerintah," beber Hery.

Baca juga: Ombudsman: Wacana Penyesuaian Iuran BPJS Kesehatan Setara Jumlah Gaji Tak Relevan

Sementara itu, malaadministrasi penyimpangan prosedur meliputi tidak ada akuntabilitas oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada agen perisai, pencairan klaim secara kolektif melalui HRD perusahaan, perbedaan penetapan usia pensiun antara perusahaan dan BPJS, serta tidak dilakukan upaya penyelarasan regulasi untuk optimalisasi akuisisi perusahaan.

Menurut Hery, klaim kolektif melalui HRD perusahaan tidak benar dilakukan. Sebab hubungan kepesertaan adalah antara BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta atau pekerja.

"Jadi proses klaim seharusnya dilakukan oleh kedua belah pihak. Tidak benar klaim kolektif yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Dalam hal pembayaran (iuran), perusahaan berhubungan langsung (dengan BPJS), tapi dalam hal klaim ini urusannya adalah peserta," ungkap Hery.

Baca juga: Ombudsman RI Temukan Potensi Malaadministrasi Terkait Reforma Agraria

Bentuk maladmimistrasi lainnya yang ditemukan Ombudsman adalah penundaan berlarut. Klaim Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM) kerap menemui hambatan.

Atas temuan itu, Ombudsman melaporkan tiga pihak, yaitu Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Ali Ghufron Mukti, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Ketua DJSN Mickael Bobby. Dia juga meminta pihak terkait melakukan tindakan korektif dalam 30 hari ke depan.

"Ombudsman RI memberikan waktu selama 30 hari kerja untuk melaksanakan tindakan korektif sejak diterima LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) yang hari ini disampaikan. Ombudsman akan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan tindakan korektif yang disampaikan ke terlapor dan pihak terkait," Sebut Hery.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Nasional
Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Nasional
KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

Nasional
Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Nasional
PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com