Sementara presiden dan wakil presiden adalah jabatan publik yang mestinya tak dapat mempidanakan tindakan itu.
Maidina khawatir, jika RKUHP ini diundangkan, maka seorang presiden dapat melaporkan warga negaranya sendiri ketika merasa telah dihina.
Padahal, lanjut dia, tak ada standar yang jelas membedakan penghinaan dan kritik.
“Kondisi di mana (pelaporan) sangat bergantung pada presiden itu yang harus kita cegah. Jadi modifikasinya enggak sepadan, kepentingannya apa?,” kata dia.
Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham Albert Aries membeberkan alasan kenapa penyusun RKUHP masih mengatur tindak pidana penghinaan presiden.
Meskipun, secara undang-undang, presiden bukanlah lambang atau simbol negara.
Tapi dalam pandangannya, presiden adalah sosok yang mesti dijaga martabatnya ketimbang warga negara biasa.
“Tapi maksud tim perumus, simbol itu dalam konteks presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, sebagai kepala diplomat sebagai kepala tentara atau militer,” ucap Albert.
Baca juga: Mempersoalkan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
Albert menyampaikan, presiden harus dipandang sebagai the first among equal atau pihak pertama diantara pihak lain yang sederajat.
“Jadi memang tujuan dari dilindunginya harkat martabat presiden karena presiden itu sendiri sebagai orang yang secara demokratis sudah terpilih,” tuturnya.
Tapi Albert mengklaim masyarakat tak perlu khawatir sebab Pasal 218 RKUHP juga berisi ketentuan di mana penghinaan tak dapat dipidana.
“Yaitu bukan merupakan penyerangan harkat dan martabat presiden jika dilakukan untuk membela diri atau kepentingan umum,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.