JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mempertanyakan alasan pemerintah mempertahankan pasal penghinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sebab pasal penghinaan presiden dalam KUHP yang berlaku saat ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MA) pada 2006 silam.
“Di negara demokratis pun (pasal penghinaan presiden) juga masih digunakan, di (beberapa negara) Eropa sendiri ada yang pakai itu,” sebut Maidina dalam program YouTube Gaspol Kompas.com, Selasa (5/7/2022).
Baca juga: Aturan soal Penghinaan Presiden Masuk RKUHP, Ini Bedanya dengan Pasal yang Lama
“Tapi memang tidak pernah diimplementasikan karena warga negaranya pun sudah enggak sadar, termasuk aparat penegak hukumnya,” ungkapnya.
Maidina mengkritisi pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP yang bersifat delik aduan.
Delik itu artinya, pengajuan laporan tentang penghinaan harkat dan martabat presiden ke polisi hanya bisa dilakukan oleh presiden itu sendiri.
Dalam pandangan Maidina, delik aduan mestinya melekat pada tindak pidana yang tidak menjadi urusan negara.
“Kalau di KUHP apa, delik aduan itu ada di perzinaan, yang bisa ngaduin ya suami atau istri, lalu pencurian dalam keluarga, kita bisa lihat aduannya bersifat personal dan sangat relatif karena negara tak punya kepentingan mempidana perbuatan tersebut,” paparnya.
Maidina heran jika tindak pidana penghinaan presiden diberi sifat delik aduan.
Sebab mestinya, penghinaan itu berlaku untuk personal, bukan melekat pada jabatan publik atau instansi pemerintah.
Alasan lain Maidina, delik aduan membuat presiden punya hak untuk melaporkan pihak lain yang dirasa merendahkan harkat dan martabatnya.
“Kondisi di mana sangat bergantung pada presiden itu yang harus kita cegah. Jadi modifikasinya enggak sepadan, kepentingannya apa?,” pungkasnya.
Adapun dalam KUHP yang berlaku saat ini, pasal penghinaan presiden bersifat delik biasa.
Artinya laporan dugaan tindak pidana itu bebas diajukan siapa saja.
Namun pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.