JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus berlanjut.
Sederet pasal dalam rancangan undang-undang tersebut dinilai bermasalah dan berpotensi jadi pasal karet.
Salah satu yang dipersoalkan yakni aturan tentang demonstrasi di tempat umum. Menurut Pasal 273 draf RKUHP tahun 2019, aksi unjuk rasa tanpa pemberitahuan ke pihak berwenang bisa dipidana selama satu tahun.
Baca juga: Mencuat Petisi Desak Jokowi dan DPR Buka Draf Terbaru RKUHP
"Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori II," demikian bunyi pasal tersebut.
Adapun merujuk draf RUU yang sama, pidana denda kategori II sama dengan Rp 10 juta.
Ketentuan mengenai demonstrasi tanpa pemberitahuan ini dinilai rawan mengkriminalisasi peserta aksi unjuk rasa.
Kekhawatiran tersebut salah satunya diungkap oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Bayu Satria Utomo.
"Ini tentu akan mengkriminalisasi kami yang sering turun ke jalan, yang sering berada di lapangan," kata Bayu dalam alam wawancara eksklusif program Gaspol! Kompas.com, Selasa (5/7/2022).
Baca juga: Mempersoalkan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
Bayu membandingkan ketentuan itu dengan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Menurut dia, aturan soal demonstrasi dalam RKUHP mengkhianati semangat reformasi yang termaktub dalam UU tersebut.
Sebabnya, UU Nomor 9 Tahun 1998 tidak mengatur sanksi pidana bagi aksi unjuk rasa, tetapi hanya memuat ancaman pembubaran bila demonstrasi digelar tanpa pemberitahuan.
"Abang-abang kita sudah memperjuangkan Reformasi yang pada saat itu lahir Undang-Undang 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum dan sanksinya adalah dibubarkan, bukan pidana," kata dia.
Selain itu, diksi 'terganggunya kepentingan umum' dalam Pasal 273 RKUHP juga dipersoalkan karena bersifat multitafsir.
Menurut Bayu, wajar saja seandainya diksi tersebut didefinisikan sebagai keonaran atau huru-hara. Namun, dia khawatir kemacetan yang biasa terjadi akibat kegiatan unjuk rasa kelak ditafsirkan sebagai 'terganggunya kepentingan umum'.
"Kalau kayak gitu, semua demonstrasi akan dipindana karena biasanya demonstrasi dilakukan di jalan dan orang-orang penasaran dan akhirnya membuat macet," katanya.
Baca juga: BEM UI Khawatir RKUHP Mengkriminalisasi Aksi Unjuk Rasa