KOMPAS.com – Pemerintah terus menggodok Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Proses pembuatan KUHP yang baru ini memakan waktu yang tidak sebentar. Butuh puluhan tahun hingga RKUHP akhirnya rampung sebentar lagi.
Namun, sampai saat ini, masih ada pro dan kontra terhadap RKUHP di masyarakat.
Bagaimana pro kontra masyarakat terhadap RKUHP?
Baca juga: RKUHP Tak Jadi Disahkan Juli Ini
Pihak-pihak yang pro dengan RKUHP menilai KUHP baru harus segera disahkan.
KUHP yang ada saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, KUHP yang digunakan sekarang juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum.
Hal ini dikarenakan sejak merdeka, pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), nama asli KUHP.
Akibatnya, multitafsir rentan terjadi dikarenakan pemaknaan KUHP yang berbeda-beda
Tak hanya itu, sebagai bangsa yang merdeka, pihak yang pro dengan RKUHP menganggap sudah seharusnya Indonesia memiliki induk peraturan hukum pidana yang dibuat sendiri.
Untuk diketahui, WvSNI merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang telah diberlakukan di Belanda sejak 1886.
WvSNI diberlakukan di Indonesia sejak 1918. Saat itu, Indonesia yang dijajah Belanda masih bernama Hindia Belanda.
Angin segar KUHP baru muncul saat pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerahkan RKUHP pada DPR tahun 2012.
DPR periode 2014-2019 kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama.
Namun, gelombang protes terhadap sejumlah pasal muncul di masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa.
Para pihak yang kontra menilai terdapat sejumlah pasal karet di dalam RKUHP. Pasal-pasal ini berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari.