Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti

Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, mahasiswa doktoral University College London, dan Pengurus PCI Nahdlatul Ulama UK.

Dilema Karbon

Kompas.com - 02/07/2022, 07:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TRANSISI dari energi berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan menjadi salah satu isu global paling penting, setidaknya dua dekade terakhir. Namun di Indonesia, insentif untuk energi terbarukan malah turun. Sebaliknya, insentif untuk bahan bakar fosil meningkat.

Hal ini terekam dalam laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) yang berjudul Indonesia’s Energy Support Measures: An inventory of incentives impacting the energy transition (Langkah-Langkah Dukungan Energi di Indonesia: Inventarisasi insentif yang berdampak pada transisi energi), terbit Juni 2022 ini.

Laporan tersebut menyatakan, selama 2016-2020, subsidi dan kompensasi untuk energi (listrik dan bahan bakar) berbahan fosil di Indonesia mencapai Rp 1.153 triliun. Jumlah ini jauh melampaui insentif untuk sumber energi lainnya, misalnya, untuk sumber energi terbarukan hanya sekitar Rp 110 triliun dan untuk kendaraan dan baterai elektrik hanya Rp 19 miliar.

Baca juga: Pakai Energi Fosil, Jokowi: Sampai Kapanpun Neraca Pembayaran RI Nggak Akan Beres...

 

Situasi tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia justru menjauh dari komitmennya untuk membangun ekonomi rendah karbon. Pada Konferensi Para Pihak (COP) 2009 dan 2016, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen (dengan upaya sendiri) atau sebesar 41 persen (jika menerima bantuan internasional) hingga tahun 2030.

Pekerjaan rumah

Insentif untuk bahan bakar fosil memang membantu menstabilkan harga jual energi. Sayangnya, dampaknya adalah penggunaan energi yang eksesif. Bahkan, sudah banyak ahli mengungkapkan bahwa penikmat utama subsidi energi adalah golongan ekonomi menengah ke atas.

Selain itu, harga energi yang terjangkau secara artifisial itu menimbulkan ketergantungan "buta" di masyarakat, yang ketika terkoyak, misalnya oleh perubahan harga, mudah sekali berbuah gejolak sosial dan politik. Karena itu, mempertahankan stabilitas harga energi, yang sumbernya masih didominasi minyak bumi, adalah pekerjaan rumah yang kompleks dan berat bagi pemerintah. Sebab, harga sumber energi tersebut senantiasa berfluktuasi.

Selain itu, sejak 2005, Indonesia telah menjadi importir netto minyak bumi. Situasi itu naasnya makin menguatkan sebuah kondisi yang oleh para ahli khawatirkan, yaitu keterkuncian karbon (carbon lock-in) (Seto, et al., 2016), suatu kondisi di mana pembangunan ekonomi senantiasa bergantung pada bahan bakar fosil padahal sumber energi terbarukan melimpah.

Pada 2005-2015, sebenarnya Indonesia berhasil menekan subsidi energi dari sekitar 20 persen menjadi 5 persen dari total belanja negara (Jazuli, Steenmans, & Mulugetta, 2021). Sayangnya, selain kenaikan insentif dalam laporan di atas, subsidi energi baru-baru ini malah kembali meroket, mencapai lebih dari Rp 400 triliun, sekitar 15 persen dari total belanja negara.

Seorang petugas tengah mengecek kondisi solar cell.KOMPAS.com/RENI SUSANTI Seorang petugas tengah mengecek kondisi solar cell.
Namun, perlu juga mendapat perhatian bahwa pembangunan rendah karbon merupakan agenda yang relatif baru. Mulainya ditandai lewat penadatanganan United Nations Framework Convention on Climate Change 1992 yang kemudian dikuatkan Protokol Kyoto 1997. Sebelum itu, dunia industri modern telah berjalan selama sekitar satu abad. Motor utamanya adalah bahan bakar fosil.

 

 

Artinya, negara-negara industri maju di kawasan Eropa dan Amerika pada masa itu adalah pemakai terbesar bahan bakar fosil (minyak dan batubara) dunia. Kesadaran mereka akan efek samping industrialisasi, khususnya terhadap pemanasan global, kemudian memunculkan agenda ekonomi rendah karbon.

Lantas, bagaimana negara-negara berkembang bisa mengejar level industrialisasi maju jika mereka tak dianjurkan menggunakan bahan bakar fosil sebagaimana para negara maju di masa sebelumnya?

Dilema

Membiarkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terus menggunakan bahan bakar fosil tentu bukan pilihan kebijakan yang bijak. Namun, membiarkan mereka menemukan caranya sendiri untuk ikut dalam gerbong ekonomi rendah karbon juga tak akan efektif.

‘Dilema karbon’ ini jelas memerlukan jalan keluar yang kompleks. Pembangunan rendah karbon bukanlah hal yang murah, apalagi gratis. Biaya penggunaan panel surya, misalnya, masih jauh lebih besar dibanding dengan bahan bakar fosil guna menghasilkan daya listrik sepadan.

Masalahnya, negara-negara maju yang sukses mengembangkan teknologi rendah karbon tak serta merta mau "mewakafkan" hak cipta dan dukungan skema pembiayaannya untuk mendukung agenda ekonomi rendah karbon di negara-negara berkembang (Kameyama, 2016; Otero, 2022).

Baca juga: Uni Eropa Dorong Indonesia Transformasikan Energi Fosil ke Energi Hijau

 

Karena itu, pengurangan insentif bahan bakar fosil, sebagaimana rekomendasi IISD, memerlukan komitmen kebijakan dan politik yang kuat baik secara global maupun nasional. Di level global, negara-negara maju harus mau memberikan bantuan pembiayaan dan transfer hak cipta teknologi secara lebih mudah. Tanpa itu, akan diperlukan satu abad lagi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mencapai target-target pembangunan rendah karbon.

Di level nasional, kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku bisnis harus diupayakan. Misalnya, berbagai pihak berkomitmen dan menjalankan program hemat energi.

Contohnya, upaya Jepang mengendalikan konsumsi energi di masa krisis minyak pada 1970-an (Lee, 2000). Krisis minyak waktu itu bisa saja merobohkan upaya Negeri Sakura merehabilitasi industrinya pasca-Perang Dunia II. Namun, Pemerintah Jepang menolak menyerah pada situasi sulit tersebut. Mereka segera memitigasinya dengan kampanye hemat energi, sekaligus memberikan keringanan pembiayaan dan pajak bagi perusahaan yang ingin mengadopsi teknologi hemat energi.

Berbagai pihak, publik maupun swasta, mengikuti anjuran ini dengan ketat. Hotel-hotel, misalnya, membatasi suhu pendingan ruangannya hanya sampai 25 derajat. Hasilnya, Jepang selamat dari krisis energi di masa itu dan malah sukses merehabilitasi industri negaranya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Nasional
Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Nasional
Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Nasional
Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Nasional
Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Nasional
Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama Pilkada 2024, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama Pilkada 2024, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasional
KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

Nasional
Gibran Bakal ke Istana Malam Ini, Bersama Prabowo?

Gibran Bakal ke Istana Malam Ini, Bersama Prabowo?

Nasional
Surya Paloh Sebut Nasdem dan PKS Siap Bergabung ke Pemerintahan Prabowo maupun Jadi Oposisi

Surya Paloh Sebut Nasdem dan PKS Siap Bergabung ke Pemerintahan Prabowo maupun Jadi Oposisi

Nasional
KPK Cek Langsung RSUD Sidoarjo Barat, Gus Muhdlor Sudah Jalani Rawat Jalan

KPK Cek Langsung RSUD Sidoarjo Barat, Gus Muhdlor Sudah Jalani Rawat Jalan

Nasional
Bertemu Presiden PKS, Surya Paloh Akui Diskusikan Langkah Politik di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Bertemu Presiden PKS, Surya Paloh Akui Diskusikan Langkah Politik di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Respons Jokowi dan Gibran Usai Disebut PDI-P Bukan Kader Lagi

Respons Jokowi dan Gibran Usai Disebut PDI-P Bukan Kader Lagi

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Doakan Timnas Indonesia U-23 Kalahkan Korsel

Wapres Ma'ruf Amin Doakan Timnas Indonesia U-23 Kalahkan Korsel

Nasional
Soal Ahmad Ali Bertemu Prabowo, Surya Paloh: Bisa Saja Masalah Pilkada

Soal Ahmad Ali Bertemu Prabowo, Surya Paloh: Bisa Saja Masalah Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com