JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat adanya 45 peristiwa tindakan represif yang dilakukan pihak kepolisian dalam aksi unjuk rasa.
Hal itu berdasarkan temuan Kontras dalam periode setahun terakhir, yakni sejak Juli 2021-Juni 2022.
“Terdapat 45 tindakan represif kepolisian yang terjadi saat aksi massa,” kata Anggota Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras, Rozy Brilian saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (30/6/2022).
Baca juga: Kontras: Ada Pola Baru, Polisi Jadi Pelayan Investor
Menurut Rozy, 45 kasus tersebut telah mengakibatkan 67 korban luka, 3 korban tewas, dan 453 korban lainnya ditangkap.
Ia mengatakan, mayoritas korban dari peristiwa itu adalah mahasiswa.
“Mahasiswa masih menjadi korban dengan angka terbanyak yakni 249 orang, diikuti sipil 222 orang, dan aktivis 63 orang,” ucap dia.
Padahal, menurut dia, seharusnya polisi berada di kutub netral serta memberikan jaminan penghormatan dan perlindungan kepada masyarakat yang hendak menggunakan haknya menyampaikan pendapat di muka umum.
Ia juga mengatakan, polisi cenderung membubarkan aksi unjuk rasa dengan dalih aksi tersebut tidak mengantongi izin kepolisian.
Menurut Kontras, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998, suatu bentuk penyampaian pendapat hanya membutuhkan pemberitahuan kepada kepolisian.
Baca juga: Panglima TNI Harap Aparat Keamanan Tak Represif ke Mahasiswa
Lebih lanjut, sejumlah penanganan aksi massa yang dilakukan pihak Kepolisian di antaranya pembubaran paksa dengan total 24 kasus.
Rozy juga merincikan berbagai tindakan penanganan aksi demo lain, di antaranya intimidasi 3 kasus, pelarangan 1 kasus, bentrokan 1 kasus, penangkapan sewenang-wenang 21 kasus, dan gas air mata 4 kasus.
Lalu, penggunaan water canon 3 kasus, penembakan 8 kasus, dan penganiayaan 9 kasus.
Terhadap setiap tindakan pembubaran atau penanganan aksi demo itu, Rozy menyebutkan, pihak kepolisian kerap menggunakan alasan aksi itu dianggap menimbulkan kericuhan dengan 15 kasus.
Adapun alasan lainnya, yakni dianggap tidak memiliki izin sebanyak 4 kasus, terkait pencegahan pandemi Covid-19 sebanyak 4 kasus.
Baca juga: Pegang Pernyataan Mahfud, BEM SI Minta Aparat Tak Represif terhadap Peserta Demo 11 April
Lalu, dianggap aksi mengandung provokasi ada 6 kasus, tidak memiliki alasan jelas ada 3 kasus, dianggap melewati jam aksi ada 2 kass, serta 3 kasus karena dianggap menghalangi aktivitas dan ketertiban umum.
Kontras berpandangan, rentetan kejadian tersebut menegaskan bahwa kepolisian merupakan institusi utama yang menciptakan situasi runtuhnya kebebasan sipil masyarakat.
”Situasi semacam ini jelas sangat berbahaya, sebab kritik publik kerap kali harus berhadap-hadapan dengan aparat keamanan dan penegakan hukum," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.