JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan tidak hanya mengajak Ukraina dan Rusia melakukan gencatan senjata, tetapi juga menjadi penengah untuk meretas jalan perdamaian permanen di antara kedua negara yang tengah bertikai itu.
Hal itu disampaikan pengajar program studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hariyadi Wirawan terkait lawatan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia.
"Indonesia dapat menawarkan diri untuk bertindak sebagai middle man dalam hal tersebut," kata Hariyadi saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/6/2022).
Menurut Hariyadi, salah satu pesan yang kemungkinan besar disampaikan Jokowi dalam pertemuan empat mata dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky adalah soal kerugian korban jiwa jika peperangan melawan Rusia berlanjut.
Baca juga: Terbang ke Moskwa, Jokowi Upayakan Ada Titik Temu Antara Ukraina dan Rusia
Di sisi lain, Hariyadi menilai negara-negara Barat yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) turut andil dalam mencetuskan konflik antara Rusia dan Ukraina.
Sebab, NATO sebagai forum kerja sama pertahanan Barat terus mendekati Ukraina dan dinilai mengusik keamanan Rusia.
Apalagi Ukraina yang merupakan negara bekas angggota Uni Soviet mempunyai garis perbatasan langsung dengan Rusia.
Jika Ukraina menjadi salah satu anggota, maka besar kemungkinan NATO mengerahkan kekuatan militer dan Rusia menilai hal itu sebagai ancaman teritorial.
"Zelensky sebagai representasi Barat didorong oleh Presiden Jokowi untuk menyampaikan hal ini kepada negara-negara Barat untuk tidak meneruskan perseteruan militernya dengan Rusia, dan mulai mencari solusi terbaik guna mengakhiri peperangan di Ukraina," ucap Hariyadi.
"Zelensky yang merupakan proxy Barat dalam perseteruannya dengan Rusia adalah pihak penting yang diberitahu oleh Presiden Jokowi tentang 'human cost' dari konflik kepentingan dua kubu," ucap Hariyadi.
Baca juga: Presiden Zelensky Ajak Pengusaha Indonesia Terlibat Rekonstruksi Usai Perang di Ukraina
Selain itu, konflik antara Rusia dan Ukraina berpotensi memicu krisis energi di Eropa. Sebab, sejumlah negara di Eropa mengandalkan pasokan gas dari Rusia untuk kebutuhan industri dan rumah tangga.
Ancaman krisis pangan dunia juga di depan mata jika peperangan antara Rusia dan Ukraina semakin panjang.
Sebab Ukraina dan Rusia adalah eksportir gandum terbesar ke seluruh dunia. Sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia membuat harga bahan pangan yang bersumber dari gandum meningkat.
Peningkatan harga itu membuat negara lain yang mengimpor gandum dari Rusia harus membeli dengan harga yang lebih tinggi dan perlahan memicu kenaikan harga bahan pangan.
"Hal ini harus disadari oleh pihak bertikai akan konsekuensi global yang dapat terjadi. Kira-kira hal yang sama akan dikatakan oleh Presiden Jokowi kepada Putin di Moskwa nanti," ucap Hariyadi.
Baca juga: Upaya Jokowi Mendamaikan Rusia-Ukraina, Ini Celah dan Tantangannya
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.