Hal ini berkaitan dengan perpanjangan otonomi khusus (Otsus) bagi Papua. Sebagai informasi, Papua dan Papua Barat memperoleh otsus melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus.
Dalam peraturan itu, pemekaran wilayah di Papua hanya dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara yang atas amanat otonomi khusus menjadi representasi kultural orang asli Papua (OAP).
Dalam perjalanannya, UU Otsus itu sempat direvisi pada 2008. Lalu, pada 2021 lalu, bertepatan dengan usainya Otsus, evaluasi pun dilakukan.
Hasil evaluasi oleh Jakarta, UU Otsus dinilai perlu direvisi lagi oleh DPR RI, menghasilkan sejumlah perubahan baru terkait pelaksanaan otsus di Papua.
Baca juga: Mengenal 3 Provinsi Baru Indonesia di Papua: Ha Anim, Meepago, dan Lapago
Beleid tentang pemekaran wilayah, misalnya, dimodifikasi. Selain atas persetujuan MRP, pemekaran wilayah di Papua dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Evaluasi dan revisi ini disebut tanpa melibatkan orang Papua, dalam hal ini melalui MRP.
MRP pun menggugat UU Otsus ini ke Mahkamah Konstitusi sejak tahun lalu dan proses ajudikasi masih berjalan hingga sekarang.
Kalangan pemerhati Papua dan pegiat hak asasi manusia menilai idealnya pemerintah dan DPR menunda pembahasan pemekaran Papua hingga putusan Mahkamah Konstitusi diketuk.
MRP justru baru dilibatkan pada bulan ini, ketika mereka menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, 22 Juni 2022.
Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Ginsang mengeklaim MRP setuju atas pemekaran ini. Namun, MRP justru menyatakan sebaliknya.
“Terkait pemekaran di Papua terjadi pro dan kontra saat ini, namun sesuai fakta di lapangan di beberapa wilayah di Papua kita tahu sendiri mayoritas rakyat Papua tegas menolak pemekaran DOB (daerah otonomi baru), dibanding mereka yang dukung,” kata Ketua MRP Timotius Murib, dikutip situs resmi MRP.