JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memintah kepada pemerintah Malaysia untuk bisa segera memulangkan para buruh migran Indonesia yang akan dideportasi.
Pernyataan itu disampaikan dalam pertemuan antara perwakilan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dan Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Sabah, Malaysia dengan Pengarah Imigresen Wilayah Sabah dan Jabatan Kesihatan Negeri Sabah (JKNS) Malaysia.
"Dalam pertemuan dengan Imigresen itu Pemerintah RI meminta agar proses pemulangan para deportan dapat segera dilakukan karena risiko pandemi yang sudah rendah, atas biaya negara," demikian isi keterangan pers Kemenlu yang dikutip pada Kamis (30/6/2022).
Pertemuan antara perwakilan KJRI dan KRI di Sabah dengan Pengarah Imigresen Wilayah Sabah dan Jabatan Kesihatan Negeri Sabah (JKNS) Malaysia dilakukan untuk mengklarifikasi terkait data buruh migran Indonesia yang meninggal di Depot Tahanan Imigresen (DTI) Sabah.
Menurut hasil pertemuan itu, jumlah buruh migran Indonesia yang meninggal di Sabah dalam kurun waktu 2021 hingga Juni 2022 mencapai 25 orang.
Baca juga: Kemenlu Sebut 25 Buruh Migran Indonesia Meninggal di Malaysia karena Terlambat Dipulangkan
Dalam keterangan Kedutaan Besar Malaysia disebutkan sepanjang 2021 terdapat 18 WNI yang meninggal di DTI Sabah. Mereka terdiri dari 17 laki-laki dan 1 perempuan.
Kemudian pada rentang Januari hingga Juni 2022 terdapat 7 WNI yang meninggal, terdiri dari 6 laki-laki dan 1 perempuan.
Kemenlu menyatakan, data itu sama dengan yang dimiliki perwakilan RI yang berisikan nama, dan penyebab kematian berdasarkan hasil pemeriksaan (post-mortem) dari otoritas rumah sakit setempat.
Menurut Kemenlu, penyebab utama tingginya kematian itu adalah karena keterlambatan pemulangan para deportan akibat pembatasan perjalanan selama pandemi Covid-19.
Dalam pertemuan itu perwakilan dari KJRI dan KRI juga menyampaikan kepada Pengarah Imigresen Wilayah Sabah dan Jabatan Kesihatan Negeri Sabah (JKNS) Malaysia agar kondisi detensi diperbaiki dari segi akses kesehatan dan fasilitas sanitasi.
Baca juga: Kemenlu Sebut Buruh Migran Indonesia yang Meninggal di Malaysia 25 Orang
KJRI dan KRI di Sabah juga menyatakan akan meningkatkan intensitas kunjungan pemantauan, bantuan logistik pakaian, makanan, obat-obatan, alat-alat kesehatan, dan tes PCR dalam proses pemulangan.
"Dalam waktu dekat Dubes RI di Kuala Lumpur akan ke Sabah dan melakukan pertemuan untuk segera mematangkan langkah-langkah di atas," lanjut isi pernyataan Kemenlu.
Kedubes Malaysia menyatakan, 149 orang yang meninggal di DTI Sabah adalah jumlah keseluruhan warga negara asing dari berbagai negara, bukan hanya Indonesia.
Mereka kemudian menerbitkan perbaikan dan klarifikasi melalui Twitter terkait kekeliruan itu.
https://twitter.com/MYEmbJKT/status/1541659584586100737?cxt=HHwWgsCl_avOieUqAAAA
Data awal itu yang sempat dikutip oleh kelompok Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) dan memicu beragam reaksi dari dalam negeri.
Menurut Koordinator Migrant Care di Malaysia, Alex Ong, persoalan utama yang terjadi di Depot Tahanan Imigresen (DTI) Sabah adalah jumlah tahanan melebihi daya tampung.
"Kapasitas depo detention center tidak kondusif dan overcrowded," kata Alex saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/6/2022).
Di sisi lain, kata Alex, Imigrasi Malaysia giat menangkap buruh migran ilegal, tetapi tidak didukung oleh perluasan atau penambahan ruang tahanan.
"Imigrasi melakukan penegakan tidak didukung infrastruktur depo tahanan. Ini jadi satu ironi penegakan hukum yang berubah jadi tragedi kematian," ujar Alex yang merupakan warga Malaysia.
Dia berharap pemerintah Malaysia mempunyai jalan keluar yang humanis terkait persoalan ini.
Baca juga: Majikan Adelina Bebas, Pemerintah Diminta Tunda Kirim Pekerja Migran ke Malaysia
"Penegak hukum memang berwenang menahan migran yang bersalah, tapi tidak patut mengakibatkan kematian migran yang ditahan. Kalau dihitung dari insiden kematian berbanding angka besar tidak signifikan, tapi setiap jiwa manusia itu bukan hanya angka kebijakan atau untung rugi bisnis," ujar Alex.
Di sisi lain, lanjut Alex, pelanggaran keimigrasian di Sabah berkaitan erat dengan peluang kerja di sektor perkebunan sawit yang tidak semimbang dengan kebijakan pekerja asing.
Dia mengatakan di Sabah ada 1,5 juta hektare kebun sawit yang butuh tidak kurang dari 150.000 buruh perkebunan.
Akan tetapi, lanjut Alex, menurut data pekerja resmi yang mempunyai izin saat ini kurang dari 57.000 orang (47,359 laki-laki dan 9,518 perempuan).
"Masih ada lebih kurang 100,000 yang tanpa izin," ucap Alex.
Bahkan menurut Alex ada buruh migran ilegal dari Indonesia yang bekerja di perkebunan sawit di Sabah yang kemudian menikah, hingga beranak-pinak dan lahir di negara itu.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sebut Hakim di Malaysia Tak Berpihak pada Pekerja Migran Korban Kekerasan
Persoalan ini yang menurut Alex menjadi problem antara pemerintah Malaysia dan Indonesia.
"Soalnya siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah atau majikan yang menarik PMI (pekerja migran Indonesia) untuk bekerja secara ilegal atau lapangan kerja Tanah Air yang minim," ucap Alex.
Terkait dengan meninggalnya 25 buruh migran Indonesia di DTI Sabat, Alex menilai para pejabat terkait di Malaysia juga harus bertanggung jawab.
"Pelaku termasuk pimpinan tertinggi termasuk menteri, Dirjen imigrasi dan Dirjen tahanan harus bertanggung jawab atas salah laku atau kelalaian tugas yang menyebabkan kematian," ucap Alex.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.