JAKARTA, KOMPAS.com - Proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih panjang dan belum akan disahkan dalam waktu dekat.
Di sisi lain, pembahasan RKUHP juga memicu beragam kritik dari kelompok masyarakat sipil, terutama mengenai pasal-pasal yang dinilai membuat pemerintah terkesan antikritik.
Proses penyusunan RKUHP sudah memakan waktu 58 tahun, sejak dimulai pada 1964 silam. Bahkan beberapa pakar hukum yang ikut melakukan rekodifikasi sudah almarhum.
Penyusunan RKUHP juga tidak dilakukan dari nol, tetapi para pakar memilih jalan melakukan rekodifikasi dan menambah penjelasan pada tiap pasal.
Di sisi lain, masyarakat berharap sejumlah aturan pidana dalam RKUHP dibuat dengan gagasan memberi kepastian hukum tanpa ada pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
Pemerintah dan Komisi III DPR menyepakati hasil sosialisasi RKUHP yang disampaikan pada rapat dengar pendapat di Komisi III pada 25 Mei 2022 lalu.
Baca juga: Harap RKUHP Tetap Disahkan Sebelum 7 Juli, Ketua Komisi III: Kalau Belum, Ya Mundur
Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan akan membawa draf terbaru RKUHP ke dalam rapat paripurna bersama dengan RUU Pemasyarakatan.
Rencananya RKUHP dan RUU Pemasyarakatan akan disahkan pada Juli 2022 mendatang.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Sharif Omar Hiariej menyatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) batal disahkan pada masa sidang DPR ke-lima, tahun sidang 2021-2022.
"Enggak-enggak. Karena minggu depan sudah reses (DPR). Sementara kita masih memperbaiki draf," kata lelaki yang biasa disapa Eddy itu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/6/2022) lalu.
Eddy mengatakan, saat ini lima poin perbaikan yang tengah dikerjakan dalam draf RKUHP.
Poin pertama adalah melakukan revisi beberapa pasal berdasarkan masukan masyarakat. Kendati demikian, Eddy tak menyebutkan pasal yang dimaksud.
"Kedua, mengenai rujukan pasal. Kan ada dua pasal yang dihapus. Kalau dua pasal dihapus itu kan berarti kan nomor-nomor pasal jelas berubah, sehingga kita rujukan pasal ini harus hati-hati," ucap dia.
"Misalnya ketika kita melihat sebagaimana dimaksud dalam pasal sekian, nah ternyata kan berubah," kata Eddy.
Ketiga, Eddy mengatakan bahwa draf RKUHP masih banyak salah ketik. Hal itu pun tentu perlu diperbaiki.
Baca juga: Wamenkumham Enggan Temui Mahasiswa Bahas RKUHP, BEM UI: Anda Jangan Hanya Omong Kosong Saja!
Poin keempat adalah sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan.
Yang terakhir tentang persoalan sanksi pidana.
"Jadi sanksi pidana ini kita harus mensinkronkan supaya tidak ada disparitas," kata Eddy.
Eddy kemudian membeberkan alasan mengapa proses revisi draf RKUHP harus cermat dan memakan waktu lama. Yakni pemerintah tidak ingin ada tumpang tindih aturan antara RKUHP dengan undang-undang lain.
Misalnya, kata Eddy, jangan sampai pasal yang ada dalam RKUHP tumpang tindih UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.