Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Demokrasi Tan, Hatta, dan Syahrir

Kompas.com - 30/06/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADALAH Tan Malaka, yang jauh lebih dulu ketimbang Bung Hatta dan Soekarno, yang membicarakan negara Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang dicita-citakan.

Ide tersebut beliau tulis pada tahun 1925 dalam buku berjudul "Naar de republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia), yang lahir tiga tahun sebelum tulisan "Indonesia Vrije" (Indonesia Merdeka) karya Bung Hatta (1928) dan delapan tahun sebelum tulisan "Mencapai Indonesia Merdeka" karya Bung Karno (1933).

Tan Malaka.perpusnas.go.id Tan Malaka.
Sekalipun Tan Malaka, bahkan sampai hari ini, acapkali dicandra sangat kiri, tapi dari tulisan-tulisannya terkait corak Indonesia yang akan dituju, Tan Malaka mengakui perlunya tiga lembaga yang dikenal akrab dalam demokrasi barat, yakni adanya pembuat undang-undang (legislatif), yang menjalankan undang-undang (eksekutif), dan yang mengawasi (yudisial).

Memang, Tan sangat terkesan dengan revolusi Oktober di Rusia, terutama terkait dengan peran massa.

Tapi sejauh pembacaan saya, keterkesanan beliau hanya sebagai instrumen yang beliau harapkan bisa menjadi langkah agar Indonesia bisa mencapai idealitas yang diharapkan.

Maka wajar kiranya mengapa Tan sempat mengusulkan agar komunisme Indonesia waktu itu bekerjasama dengan pan-Islamisme karena menurut dia, memang kekuatan Islam di Indonesia sama sekali tidak bisa diabaikan.

Bagi Tan, gagasan republikanisme yang dikembangkan haruslah bercorak sosialistik yang menekankan kerja sama. Individualisme dan kapitalisme dalam konteks ideasional beliau tolak secara apriori.

Sementara itu, Bung Hatta muncul dengan ide yang hampir sama. Beliau menulis, "Negara itu haruslah berbentuk republik berdasarkan kedaulatan rakyat. Tapi kedaulatan rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakannya kepada kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme."

Menurut Hatta, "demokrasi Indonesia harus pula seirama dengan perkembangan demokrasi daripada Indonesia yang 'asli'. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme barat memperkuat pula keinginan untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun ke dalam masyarakat sendiri".

Gagasan demokrasi sosial dalam konteks Indonesia menjadi pemikiran yang cukup jelas dari Hatta, bahkan belakangan beliau menjadi salah satu tokoh sejarah nasional yang dilekatkan dengan konsep demokrasi sosial.

Pergulatannya yang intens dengan tradisi demokrasi di Eropa, penyelidikannya atas praktik sosio-demokrasi, terutama di negara-negara Skandinavia, serta pengalamannya atas tradisi permusyawaratan dan gotong royong dari masyarakat desa (nagari), menjadi latar yang sangat kuat dalam konseptualisasi demokrasi versi Hatta yang ia anggap cocok untuk masa depan bangsa.

Pemikiran awal beliau yang demikian bisa dilacak dari berbagai tulisannya yang diterbitkan sejak akhir tahun 1920-an sampai awal 1930-an.

Latar demokrasi desa yang ikut membentuk spirit demokrasi Bung Hatta tersebut menjadi bukti yang jelas bahwa demokrasi sebenarnya bukanlah ide murni dari barat.

Ada demokrasi di Indonesia sejak lama, yang perlu disempurnakan dan dikontekstualisasi oleh generasi hari ini.

Bahkan Profesor Ilmu Politik dari New York University, David Stasavage, dalam buku barunya dua tahun lalu, "The Decline and Rise of Democracy: A Global History from Antiquity to Today" (2020), dengan cukup meyakinkan membalik pemahaman umum kita, yang telah tertular buku-buku sejarah politik dunia dan demokrasi, bahwa demokrasi dimulakan dari Athena zaman baheula (Ancent Athen), lalu menyebar ke belahan bumi bagian barat dan menjadi nyanyian utama dalam peradaban barat, sampai hari ini.

David menolak pemahaman tersebut. "Democratic governance comes naturally to humans", katanya.

Demokrasi ditemukan hampir di semua masyarakat awal dari peradaban besar (many early civilisation) yang ada di semua belahan dunia, tidak hanya di era Classical Greek.

Mulai dari ancient Mesopotamia, Buddhist India, the tribal lands of the American Great Lakes, pre-conquest Mesoamerica, era pre-colonial Africa, pernah berlangsung kekuasaan yang dijalankan secara demokratik, tulis David.

Tentu perlu ditambahkan, demokrasi juga ditemukan di Nagari di mana Hatta dibesarkan. Dan berbekal pengalaman itu Hatta terus memperkokoh keyakinan demokrasinya, terutama dengan rajin menimba ilmu dan membawanya ke dalam praktik politik.

Lalu bagaimana dengan Sutan Syahrir? Syahrir adalah figur yang paling muda di antara mereka bertiga dan terbilang yang paling liberal, yang sangat konsen dengan gagasan kedaulatan rakyat.

Sutan Syahrir atau Soetan Sjahrir.Wikimedia Commons Sutan Syahrir atau Soetan Sjahrir.
Herbert Feith dan Lance Castle (1970) bahkan sempat menulis bahwa sosialisme liberal boleh jadi lebih sesuai dengan Syahrir, jika istilah "liberalisme dalam bahasa politik Indonesia tidak dikaitkan dengan kapitalisme yang membabi buta."

Syahrir sudah bersama Bung Hatta sejak di Perhimpunan Indonesia di Belanda, saat itu beliau sedang belajar hukum di Leiden. Beliau juga bersama Bung Hatta saat mengasuh jurnal Daulat Ra'jat (didirikan pada tahun 1931).

Pernyataan beliau yang cukup terkenal terkait mengapa beliau lebih cenderung berpikir secara sosialis bisa dijadikan permakluman mengapa sosialisme akrab di kepalanya.

Katanya, "setiap orang Asia yang terpelajar, yang hidup di negeri terbelakang, dan yang memimpikan suatu kemungkinan supaya negerinya memperoleh persamaan yang nyata dengan barat yang kaya dan modern, pada dasarnya akan berpikir secara sosialis".

Jika lacak ke belakang, paham sosialisme yang diusung oleh Syahrir adalah paham yang tetap menghormati kemerdekaan dan kebebasan individu dengan rasionalitas yang dimiliki, namun juga harus peduli pada masalah bersama sebagai makluk sosial.

Dan yang cukup menarik, Syahrir menolak paham sosialisme dalam arti bahwa negara mengurus semua urusan ekonomi rakyat dan meniadakan hak milik pribadi sebagaimana yang dipraktikan sosialisme ala komunis di Rusia ketika itu.

Menurut Syahrir, paham semacam itu hanya akan menempatkan negara sebagai institusi totaliter yang mengurus semua urusan ekonomi rakyat dan bahkan juga berupaya mengontrol apa yang dipikirkan oleh warganya.

Dan satu lagi, Syahrir juga bersikap sangat kritis terhadap feodalisme alias gejala keningratan yang sempat merebak pada era pascakemerdekaan.

Menurut Syahrir, gejala tersebut dapat merongrong cita-cita bangsa Indonesia, terutama terkait prinsip kesetaraan derajat semua elemen bangsa.

Terkait pemerintahan, menurut Syahrir, pemerintah harus menempatkan diri sebagai pihak yang berkewajiban untuk menerjemahkan kesejahteraan rakyat dan memandang dirinya berperan sebagai pelayan rakyat, bukan tuan.

Beliau menolak segala bentuk pemerintahan yang memberikan kekuasaan berlebihan kepada kelompok tertentu agar bisa menciptakan mekanisme kontrol dan keseimbangan antarlembaga yang ada dalam negara.

Lalu sampai di mana kita hari ini? Bagi saya, tak penting seperti apa pencapaian kita hari ini setelah berpuluh-puluh tahun dialektika ideasional yang dilakukan tokoh-tokoh di atas.

Setidaknya, dengan memahami mimpi dan harapan para tokoh ini, dengan memahami isi pemikiran mereka di saat itu, kita bisa paham bahwa Indonesia diperjuangkan bukan untuk dimain-mainkan oleh generasi penerusnya.

Apapun perkembangannya kemudian, apapun cara dan metode untuk membesarkan Pancasila serta Indonesia, selama dijalankan dalam semangat untuk rakyat, saya kira layak untuk diapresiasi.

Yang sangat perlu diingat bahwa mereka tidak bermain-main dengan cita-citanya, jadi ada baiknya para petinggi negeri hari ini juga tidak main-main dengan negara ini, tidak bersendagurau dengan kepentingan rakyat banyak, dan tidak mudah menjadikan segala instrumen kenegaraan sebagai sebuah bahan iklan politik yang dangkal. Semoga.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Panglima TNI: Masalah Papua Belum Terselesaikan, Perlu Konsep Terintegrasi

Panglima TNI: Masalah Papua Belum Terselesaikan, Perlu Konsep Terintegrasi

Nasional
Kepala BNN Janji Miskinkan Bandar Narkoba dan Lemahkan Sumber Keuangannya

Kepala BNN Janji Miskinkan Bandar Narkoba dan Lemahkan Sumber Keuangannya

Nasional
Alasan Dewas KPK Tak Bawa Dugaan Pemerasan dan Gratifikasi Firli ke Sidang Etik

Alasan Dewas KPK Tak Bawa Dugaan Pemerasan dan Gratifikasi Firli ke Sidang Etik

Nasional
Ketika Prabowo Tertawa Pernah Difitnah Cekik dan Tampar Wakil Menteri...

Ketika Prabowo Tertawa Pernah Difitnah Cekik dan Tampar Wakil Menteri...

Nasional
11 Hari Kampanye, Jubir Timnas Anies-Muhaimin Klaim Gelombang Perubahan Makin Membesar

11 Hari Kampanye, Jubir Timnas Anies-Muhaimin Klaim Gelombang Perubahan Makin Membesar

Nasional
Prabowo: Kalau Ada Gagasan tapi Mau Joget, Enggak Boleh?

Prabowo: Kalau Ada Gagasan tapi Mau Joget, Enggak Boleh?

Nasional
RI Harap Pengaktifan Pasal 99 Piagam PBB Tekan DK Ambil Tindakan untuk Gaza

RI Harap Pengaktifan Pasal 99 Piagam PBB Tekan DK Ambil Tindakan untuk Gaza

Nasional
Khawatir Timbul Konflik, Cak Imin Sebut Kedatangan Pengungsi Rohingya ke Aceh Harus Disetop

Khawatir Timbul Konflik, Cak Imin Sebut Kedatangan Pengungsi Rohingya ke Aceh Harus Disetop

Nasional
KPU Bantah Ada Usul Hilangkan Saling Sanggah di Debat Capres Saat Rapat dengan Timses

KPU Bantah Ada Usul Hilangkan Saling Sanggah di Debat Capres Saat Rapat dengan Timses

Nasional
Tanggapi Rencana Ekspor Daun Kratom, Kepala BNN: Kami Pelajari Dulu

Tanggapi Rencana Ekspor Daun Kratom, Kepala BNN: Kami Pelajari Dulu

Nasional
KPU Pastikan Antar Capres-Cawapres Tetap Bisa Saling Respons dalam Debat

KPU Pastikan Antar Capres-Cawapres Tetap Bisa Saling Respons dalam Debat

Nasional
Mengundur-undur Seleksi Pengawas, Seluruh Anggota Bawaslu RI Dinyatakan Langgar Etik

Mengundur-undur Seleksi Pengawas, Seluruh Anggota Bawaslu RI Dinyatakan Langgar Etik

Nasional
Mahfud Makan Siang hingga Salat Jumat Bareng Anwar Ibrahim di Malaysia, Ini yang Dibicarakan

Mahfud Makan Siang hingga Salat Jumat Bareng Anwar Ibrahim di Malaysia, Ini yang Dibicarakan

Nasional
Profil Irjen Daniel Tahi Bonar Silitonga, Kapolda NTT yang Baru Ditunjuk Kapolri

Profil Irjen Daniel Tahi Bonar Silitonga, Kapolda NTT yang Baru Ditunjuk Kapolri

Nasional
Ridwan Mansyur Setuju Pembentukan MKMK secara Permanen

Ridwan Mansyur Setuju Pembentukan MKMK secara Permanen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com