ADALAH Tan Malaka, yang jauh lebih dulu ketimbang Bung Hatta dan Soekarno, yang membicarakan negara Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang dicita-citakan.
Ide tersebut beliau tulis pada tahun 1925 dalam buku berjudul "Naar de republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia), yang lahir tiga tahun sebelum tulisan "Indonesia Vrije" (Indonesia Merdeka) karya Bung Hatta (1928) dan delapan tahun sebelum tulisan "Mencapai Indonesia Merdeka" karya Bung Karno (1933).
Memang, Tan sangat terkesan dengan revolusi Oktober di Rusia, terutama terkait dengan peran massa.
Tapi sejauh pembacaan saya, keterkesanan beliau hanya sebagai instrumen yang beliau harapkan bisa menjadi langkah agar Indonesia bisa mencapai idealitas yang diharapkan.
Maka wajar kiranya mengapa Tan sempat mengusulkan agar komunisme Indonesia waktu itu bekerjasama dengan pan-Islamisme karena menurut dia, memang kekuatan Islam di Indonesia sama sekali tidak bisa diabaikan.
Bagi Tan, gagasan republikanisme yang dikembangkan haruslah bercorak sosialistik yang menekankan kerja sama. Individualisme dan kapitalisme dalam konteks ideasional beliau tolak secara apriori.
Sementara itu, Bung Hatta muncul dengan ide yang hampir sama. Beliau menulis, "Negara itu haruslah berbentuk republik berdasarkan kedaulatan rakyat. Tapi kedaulatan rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakannya kepada kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme."
Menurut Hatta, "demokrasi Indonesia harus pula seirama dengan perkembangan demokrasi daripada Indonesia yang 'asli'. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme barat memperkuat pula keinginan untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun ke dalam masyarakat sendiri".
Gagasan demokrasi sosial dalam konteks Indonesia menjadi pemikiran yang cukup jelas dari Hatta, bahkan belakangan beliau menjadi salah satu tokoh sejarah nasional yang dilekatkan dengan konsep demokrasi sosial.
Pergulatannya yang intens dengan tradisi demokrasi di Eropa, penyelidikannya atas praktik sosio-demokrasi, terutama di negara-negara Skandinavia, serta pengalamannya atas tradisi permusyawaratan dan gotong royong dari masyarakat desa (nagari), menjadi latar yang sangat kuat dalam konseptualisasi demokrasi versi Hatta yang ia anggap cocok untuk masa depan bangsa.
Pemikiran awal beliau yang demikian bisa dilacak dari berbagai tulisannya yang diterbitkan sejak akhir tahun 1920-an sampai awal 1930-an.
Latar demokrasi desa yang ikut membentuk spirit demokrasi Bung Hatta tersebut menjadi bukti yang jelas bahwa demokrasi sebenarnya bukanlah ide murni dari barat.
Ada demokrasi di Indonesia sejak lama, yang perlu disempurnakan dan dikontekstualisasi oleh generasi hari ini.
Bahkan Profesor Ilmu Politik dari New York University, David Stasavage, dalam buku barunya dua tahun lalu, "The Decline and Rise of Democracy: A Global History from Antiquity to Today" (2020), dengan cukup meyakinkan membalik pemahaman umum kita, yang telah tertular buku-buku sejarah politik dunia dan demokrasi, bahwa demokrasi dimulakan dari Athena zaman baheula (Ancent Athen), lalu menyebar ke belahan bumi bagian barat dan menjadi nyanyian utama dalam peradaban barat, sampai hari ini.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.