Karena itu, menurut Putin, perkara perang atau damai terletak di tangan dunia Barat (bukan Indonesia), yakni menghentikan "enlargement" atas Ukraina dan mendemiliterisasi daerah-daerah di Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia (Southern Ukraine).
Jika dunia Barat justru mendukung Ukraina untuk menggagalkan permintaan Rusia tersebut, maka selama Putin masih bertakhta di Kremlin, situasi akan tetap seperti hari ini.
Nah, dengan konstelasi demikian, maka kedatangan Jokowi ke Kiev ataupun ke Moskow nampaknya belum akan membuahkan hasil yang positif untuk menurunkan tensi peperangan.
Di sisi lain, Jokowi pastinya tidak membawa daftar tawaran yang bisa membuat kedua kepala negara untuk berpelukan dan berdamai.
Justru digadang-gadang, selain misi perdamaian, Jokowi membawa daftar permintaan, bukan daftar tawaran, yakni harapan yang dikabarkan mewakili kepentingan negara-negara berkembang agar peperangan segera dihentikan.
Seteru kedua negara tersebut telah menyulut resesi dunia, membuat harga komoditas global melambung tajam, mengganggu rantai pasok global, dan berpeluang menjerumuskan dunia ke dalam hantu resesi dan stagflasi.
Lihat saja, harga minyak dunia sudah beberapa bulan bertengger di atas 100-an dollar AS per barel. Bagi Indonesia, jika pemerintah dan Pertamina tidak segera menaikkan harga jual Pertalite dan Solar, misalnya, maka puluhan triliun rupiah mau tak mau akan dibutuhkan untuk menyubsidi BBM.
Begitu pula dengan inflasi tinggi. Per April 2022 lalu saja, inflasi di Amerika Serikat mencapai 8,3 persen, Inggris mencapai 9 persen, Brasil 12,1 persen, Meksiko 7,7 persen, India 7,8 persen, dan Rusia sendiri 17,8 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi global akan kembali terpangkas.
Kedua negara tentu memahami risiko global tersebut. Hanya saja, menghindari risiko tersebut nampaknya belum menjadi prioritas kedua negara.
Bahkan boleh jadi, Putin sangat menginginkan hal tersebut sebagai balasan kepada negara-negara Barat, yang notabene diprediksi sebagai negara-negara yang akan menanggung risiko global tersebut.
Dengan kata lain, resesi global boleh jadi adalah salah satu target yang ingin digapai oleh Putin sebagai senjata untuk membalas sanksi-sanksi dari Barat.
Namun lepas dari itu semua, misi Jokowi ke Kiev dan Moskow sangat perlu diapresiasi. Keberanian Jokowi untuk berdiri dan mengambil peran global tersebut perlu diacungi jempol, di saat banyak negara dari dunia berkembang justru sedang disibukkan dengan ancaman resesi di negaranya masing-masing.
Dengan menjalankan misi global dan konstitusional tersebut, Jokowi berani melampaui PM India Narendra Damodardas Modi dan Presiden RRT Xi Jinping, dua pemimpin raksasa Asia, yang sejak Februari 2022 lalu justru tak berani melangkah lebih jauh dari langkah yang diambil Jokowi.
Padahal kedua negara tersebut lebih memiliki kapasitas geopolitik dan ekonomi untuk menekan kedua belah pihak yang sedang berseteru.
Dan tentu mengapresiasi misi tersebut tetap dalam konteks yang tepat dan proporsional, yakni konteks peran global Indonesia.
Karena jika menggunakan konteks domestik, Jokowi justru terlihat seperti sedang mencari sumber legitimasi baru untuk menyelamatkan muka dari berbagai persoalan di dalam negeri. Semoga tidak demikian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.