Dalam perjalanannya, UU Otsus itu sempat direvisi pada 2008 dan pada 2021, bertepatan dengan usainya Otsus.
Hasil evaluasi ini, UU Otsus dinilai perlu direvisi oleh DPR RI, menghasilkan sejumlah perubahan baru terkait pelaksanaan otsus di Papua.
Beleid tentang pemekaran wilayah, misalnya, dimodifikasi. Selain atas persetujuan MRP, pemekaran wilayah di Papua dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Evaluasi dan revisi ini disebut tanpa melibatkan orang Papua, dalam hal ini melalui MRP.
MRP pun menggugat UU Otsus ini ke Mahkamah Konstitusi sejak tahun lalu dan proses ajudikasi masih berjalan hingga sekarang.
MRP justru baru dilibatkan pada bulan ini, ketika mereka menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, 22 Juni 2022.
Baca juga: Mahfud Sebut Surpres DOB Papua Sudah Diserahkan ke DPR
Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Ginsang mengeklaim MRP setuju atas pemekaran ini. Namun, MRP justru menyatakan sebaliknya.
“Terkait Pemekaran di Papua terjadi pro dan kontra saat ini, namun sesuai fakta di lapangan di beberapa wilayah di Papua kita tahu sendiri mayoritas rakyat Papua tegas menolak pemekaran DOB, dibanding mereka yang dukung,” kata Ketua MRP Timotius Murib, dikutip situs resmi MRP.
“Pemekaran merupakan produk buru-buru akibat perubahan Otsus jilid 2 yang sepihak di lakukan oleh DPR RI, tanpa kajian ilmiah terkait pembentukan DOB. Proses DOB ini harus di pending sampai harus ada putusan Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.
Pada rapat pembahasan bersama Panitia Kerja di Komisi II DPR RI sehari setelahnya, rapat ditutup untuk umum.
Di sisi lain, pemekaran provinsi ini dikhawatirkan akan memperburuk krisis kemanusiaan akibat konflik bersenjata di sana.
Baca juga: Komisi II Dorong Revisi UU Pemilu karena DOB Papua, Terkait IKN Akan Dikaji Lebih Serius
Dengan pembentukan tiga provinsi baru akan ada penambahan pasukan keamanan. Provinsi baru itu akan memiliki komando daerah militer (kodam) dan kepolisian daerah (Polda) baru.
Mengutip data Amnesty International, tanpa pemekaran saja, Kabupaten Intan Jaya yang kerap jadi pusat konflik antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) mengalami lonjakan pos militer dari 2 pada 2019 menjadi 17 pos pada 2021 karena alasan keamanan.
Padahal, pengerahan pasukan keamanan dalam jumlah besar di Papua sejak 2019 telah menjadi sorotan dan dianggap kontraproduktif dalam upaya mencari jalan damai atas masalah politik di Papua.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.