JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dipastikan akan memuat pasal soal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward OS Hiariej menegaskan, pemerintah tidak akan menghapus pasal tersebut dari draf RKUHP sekalipun menimbulkan perdebatan.
Pria yang akrab disapa Eddy itu mengatakan, revisi KUHP tidak mungkin memuaskan seluruh pihak.
"Tidak akan kita hapus. Tidak akan. Intinya kita begini ya, pasti tidak mungkin memuaskan semua pihak," kata Eddy saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Baca juga: RKUHP Tak Jadi Disahkan Juli Ini
Menurut Eddy, jika kelak ada yang tak setuju dengan pasal ini, maka pihak tersebut bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kendati bersikukuh mempertahankan pasal penghinaan presiden, Eddy menepis tudingan yang menyebutkan bahwa pemerintah antikritik.
Dia bilang, orang-orang yang menilai pemerintah antikritik tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan.
“Yang dilarang itu penghinaan lho, bukan kritik. Dibaca enggak bahwa kalau itu mengkritik enggak boleh dipidana? Kan ada di pasalnya. Jadi apa lagi?" tuturnya.
Dalam draf RKUHP tahun 2019, perbuatan yang dianggap menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta wakil presiden diancam hukuman maksimal 3,5 tahun penjara. Perihal tersebut diatur dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP.
Baca juga: Wamenkumham Ungkap Lima Poin Perbaikan Draf RKUHP
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 218 Ayat (1).
"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," lanjutan Pasal 218 Ayat (2).
Hukuman terhadap penyerangan kehormatan dan martabat presiden bisa diperberat menjadi 4,5 tahun jika dilakukan menggunakan sarana teknologi informasi. Ini diatur dalam Pasal 219 draf RKUHP.
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal tersebut.
Kemudian, pada Pasal 220 disebutkan bahwa tindak pidana penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden ini hanya dapat dituntut jika ada aduan. Pengaduan itu dapat dibuat secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.
Baca juga: Pemerintah Ogah Temui Mahasiswa yang Demo soal RKUHP di DPR, Ini Alasannya
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden?
Menurut penjelasan Pasal 218 Ayat (1) draf RKUHP, yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum.
Perbuatan itu termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan
pemerintah.
Namun demikian, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal).
Baca juga: Sejumlah Alasan Pemerintah Belum Mau Buka Draf Terbaru RKUHP
"Oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se, sehingga dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara," bunyi penjelasan pasal tersebut.
Sementara, merujuk penjelasan Pasal 218 Ayat (2) draf RKUHP, yang dimaksud "perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang
diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.
RKUHP juga mengatur tentang pemidanaan terhadap pelaku penghinaan pemerintah. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 240 dan 241 draf RKUHP versi 2019.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun, bahkan 4 tahun jika dilakukan menggunakan teknologi informasi.
"Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian Pasal 240 draf RKUHP.
Baca juga: Pemerintah Jawab Mahasiswa yang Desak Draf Terbaru RKUHP Dibuka
Kemudian, dijelaskan pada Pasal 241 bahwa, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan
sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V".
Pembahasan revisi KUHP sempat terhenti selama hampir 3 tahun. Saat itu, rencana pengesahan RKUHP menuai demo besar-besaran sehingga dilakukan penundaan.
Kini, pemerintah dan DPR bersiap melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Rapat dengar pendapat (RDP) mengenai revisi UU ini telah digelar beberapa kali.
Namun, hingga kini pemerintah dan DPR belum mau membuka draf terbaru RUU itu.
Semula, revisi KUHP ditargetkan rampung Juli tahun ini. Namun, pemerintah berdalih draf RKUHP belum selesai sehingga pengesahannya ditunda.
"Enggak-enggak (tidak akan disahkan Juli ini). Karena minggu depan sudah reses (DPR). Sementara kita masih memperbaiki draf," kata Eddy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/6/2022).
Eddy juga menyampaikan bahwa pemerintah akan memperbaiki lima poin dalam draf RKUHP sebelum dibawa ke DPR untuk disahkan.
Pertama, revisi beberapa pasal berdasarkan masukan masyarakat. Kendati demikian, Eddy tak menyebutkan pasal yang dimaksud.
"Kedua, mengenai rujukan pasal. Kan ada dua pasal yang dihapus. Kalau dua pasal dihapus itu kan berarti kan nomor-nomor pasal jelas berubah, sehingga kita rujukan pasal ini harus hati-hati," ucap Eddy .
"Misalnya ketika kita melihat sebagaimana dimaksud dalam pasal sekian, nah ternyata kan berubah," tuturnya.
Baca juga: Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis lewat Gugatan UU Narkotika di MK...
Ketiga, kata Eddy, masih terdapat banyak kesalahan pengetikan dalam draf RKUHP sehingga masih perlu perbaikan.
Keempat, masih perlu dilakukan sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan UU. Kelima, tentang sanksi pidana yang dimuat RKUHP.
"Jadi sanksi pidana ini kita harus mensinkronkan supaya tidak ada disparitas," kata Eddy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.