Menurut penjelasan Pasal 218 Ayat (1) draf RKUHP, yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum.
Perbuatan itu termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan
pemerintah.
Namun demikian, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal).
Baca juga: Sejumlah Alasan Pemerintah Belum Mau Buka Draf Terbaru RKUHP
"Oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se, sehingga dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara," bunyi penjelasan pasal tersebut.
Sementara, merujuk penjelasan Pasal 218 Ayat (2) draf RKUHP, yang dimaksud "perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang
diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.
RKUHP juga mengatur tentang pemidanaan terhadap pelaku penghinaan pemerintah. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 240 dan 241 draf RKUHP versi 2019.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun, bahkan 4 tahun jika dilakukan menggunakan teknologi informasi.
"Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian Pasal 240 draf RKUHP.
Baca juga: Pemerintah Jawab Mahasiswa yang Desak Draf Terbaru RKUHP Dibuka
Kemudian, dijelaskan pada Pasal 241 bahwa, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan
sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V".
Pembahasan revisi KUHP sempat terhenti selama hampir 3 tahun. Saat itu, rencana pengesahan RKUHP menuai demo besar-besaran sehingga dilakukan penundaan.
Kini, pemerintah dan DPR bersiap melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Rapat dengar pendapat (RDP) mengenai revisi UU ini telah digelar beberapa kali.
Namun, hingga kini pemerintah dan DPR belum mau membuka draf terbaru RUU itu.
Semula, revisi KUHP ditargetkan rampung Juli tahun ini. Namun, pemerintah berdalih draf RKUHP belum selesai sehingga pengesahannya ditunda.
"Enggak-enggak (tidak akan disahkan Juli ini). Karena minggu depan sudah reses (DPR). Sementara kita masih memperbaiki draf," kata Eddy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/6/2022).