Dalam persidangan ini Rianto mewakili pihak pemerintah terkait uji materi UU Narkotika.
"Menurut hemat saya, ini pertimbangan risiko dan manfaat. Saat ini, kita melihat bahwa indikasi-indikasi yang diklaim dapat diobati dengan cannabis (ganja), untuk itu tersedia banyak pilihan obat lain yang telah dibuktikan aman dan efektif sehingga mendapatkan izin edar," kata Rianto Kamis (20/1/2022).
"Dalam kondisi seperti ini, kita tidak melihat urgensi dalam hal ini (legalisasi ganja untuk medis). Lebih baik kita lebih konservatif, karena obat ini berpotensi untuk menimbulkan masalah, terutama terkait dampaknya pada masyarakat," tuturnya.
Rianto mengaku belum sependapat dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan manfaat ganja untuk keperluan medis.
Katanya, masih ada beberapa kelemahan dalam studi-studi tersebut, sehingga belum ada data yang cukup kuat untuk dijadikan dasar penggunaan ganja sebagai obat.
"Adanya bukti (bahwa suatu zat/obat efektif mengatasi indikasi penyakit) bukan merupakan satu-satunya dasar pertimbangan suatu obat bisa diterima. Potensi manfaat selalu harus diimbangi dengan pertimbangan potensi dampak negatifnya seperti apa," ujar Rianto.
"Kalau seimbang, mungkin masih bisa kita terima. Tapi kalau misalnya potensi dampak negatif keamanannya lebih besar, kita terpaksa mengatakan tidak, walaupun bisa dikatakan dia punya efektivitas," lanjutnya.
Adapun dalam penuturannya di acara Kompas Petang, Kompas TV, Senin (27/6/2022), Santi Warastuti menyebut bahwa putrinya, Pika, mulai sakit sejak tahun 2015 ketika dia menginjak TK nol besar.
Saat berada di sekolah, Pika beberapa kali mengalani lemas, muntah-muntah, bahkan pingsan. Peristiwa itu berulang hingga beberapa kali, hingga Pika mengalami kejang.
Akhirnya, Santi membawa buah hatinya untuk diperiksakan ke dokter ahli saraf.
“Setelah itu muncul kejang. Kita bawa ke dokter saraf anak. CT scan, divonis epilepsi, karena kejang tanpa demam,” kata Santi.
“Sejak saat itu Fika mulai minum obat antikejang. Lama-kelamaan kejang masih ada, kemampuannya menurun, motorik kasar menurun, motorik halus menurun,” lanjutnya.
Baca juga: Gugat ke MK, Partai Buruh: UU PPP Direvisi karena UU Cipta Kerja, tapi Buruh Tidak Dilibatkan
Meski sudah diberi obat, kondisi kesehatan Pika terus menurun. Anak kecil itu tidak mampu lagi berjalan, dan harus keluar masuk rumah sakit.
Kejang yang dialami oleh Pika pun terus berulang, hingga akhirnya sampai pada kondisi saat ini.
“Pertama memang vonisnya epilepsi, kemudian muncul radang otak, kemudian dengan kondisi seperti ini dia disebut cerebral palcy,” kata Santi.
Ternyata, obat-obatan yang dikonsumsi Pika selama ini belum mampu menyembuhkan penyakitnya. Oleh karena itu, melalui uji materi UU Narkotika yang ia mohonkan, Santi ingin MK melegalkan ganja untuk pengobatan.
“Kalau ada alternatif lain, ada obat lain yang bisa memperbaiki kualitas hidup Pika, salah saya apa? Saya di jalan yang benar begitu lho,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.