PADA awal Mei 2021 lalu, dengan berbasis data science berupa pemodelan SIR (Susceptible-Infective-Removed) yang dikembangkan Kermack-McKendrick tahun 1927, penulis telah mensimulasikan bahwa perkembangan virus Corona pada fase pandemi akan terus terjadi di Indonesia setidaknya hingga Juli 2022.
Pada penelitian SIR tersebut, penulis beserta tim menggunakan bahasa pemrograman Python versi 3.7 dengan memanfaatkan library analisis penyebaran COVID-19 berdasarkan model SIR, yakni Covsir Phy (https://lisphilar.github.io/covid19-sir/) yang dirilis oleh peneliti riset klinis Jepang, Lisphilar.
Penelian tersebut muncul sebagai respons kasus besar saat itu di India. Negara tersebut menjadi salah satu negara yang juga menerapkan program vaksinasi, namun masyarakatnya malah jadi kurang menerapkan protokol kesehatan yang benar.
Sebagai dampaknya, India kala itu menghadapi gelombang pandemi COVID-19 yang kedua dengan lonjakan kasus sangat signifikan.
Lonjakan kasus begitu besar semata-mata terjadi karena lengahnya masyarakat akibat merasa vaksinasi telah dijalankan lalu banyak mengabaikan protokol kesehatan hingga melangsungkan kegiatan keagamaan dan politik yang diselenggarakan secara masif.
Merujuk hal-hal itu, penulis seketika mengingatkan masyarakat Indonesia tidak euphoria. Hal ini merujuk fakta saat Lebaran 2021, ketika tumpahan masyarakat berwisata terlihat di banyak tempat dengan mengabaikan protokol kesehatan.
Dan benar saja... bom waktu kala itu terjadi manakala puncak varians Delta terjadi pada Juni-Juli tahun lalu.
Kita hidup mencekam saat itu, manakala sirene ambulans nyaring terdengar setiap saat, oksigen medis habis di mana-mana, serta tingkat hunian rumah sakit mendekati tingkat kritis.
Sebagai bangsa yang besar, tentu kita tidak ingin jatuh di lubang yang sama. Terlebih, beberapa kondisi ada kemiripan dengan tahun lalu seperti saat ini.
Seperti periode setelah Idul Fitri dan mendekati Idul Adha, selepas libur Lebaran mendekati libur panjang semesteran pelajar dan mahasiswa, serta protokol melonggar di banyak tempat.
Kondisi kesamaan periode tersebut saat ini bisa bertambah memburuk manakala asumsi mayoritas masyarakat soal varians Omicron adalah lemah.
Tidak seganas jenis Alpha apalagi Delta, sehingga jangan terlalu ketakutan dan bukan sebuah pelanggaran sosial apabila kemudian abai protokol.
Mendekati situasi pemikiran semacam ini, ada beberapa hal yang penulis merasa perlu ingatkan sebagai sebuah tanggungjawab sosial akademisi/ilmuwan.
Hal ini juga mengingat pengamatan yang lebih mendalam terhadap model dinamika SIR yang diasumsikan bisa memprediksi penyebaran dan penularan Covid 19 yang didukung data terakhir mengkonfirmasi bahwa Indonesia sedang di fase awal memasuki gelombang keempat Covid 19!
Respons dan perilaku dalam arti derajat kepatuhan masyarakat pada prokes (5M) akan ikut menentukan apakah gelombang keempat ini hanya akan merupakan riak kecil, atau akan merupakan gelombang yang sangat dahsyat.
Beberapa poin yang mungkin perlu menjadi perhatian, dalam hal ini adalah sebagai berikut.
Pertama, benar memang pengumuman bolehnya melepas masker sudah ada.
Akan tetapi, izin melepas masker adalah hal yang sangat berbeda dengan instruksi melepas masker di ruang terbuka.
Jadi, tidak ada sama sekali redaksi masyarakat Indonesia harus melepas masker, yang ada adalah boleh melepas masker.
Jika kemudian saat ini cenderung menjadi melepas di mana-mana, termasuk di dalam ruangan, bisa jadi publik salah menginterprestasi pesan yang disampaikan orang nomor satu di republik ini.
Kedua, kebebasan tak bermasker juga sejatinya dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Presiden Jokowi jelas menyebutkan masker boleh dilepas --sebatas di ruang terbuka-- apabila zona daerahnya hijau alias penyebaran terkendali.
Bukan bebas absolut di semua zona; Zona merah tetap harus bermasker di manapun posisinya.
Jika kemudian dalam dua pekan terakhir ini di banyak tempat, terutama lima provinsi utama di Indonesia (berpopulasi terpadat di Indonesia), maka boleh melepas masker tersebut otomatis tak lagi berlaku.
Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, Omicron adalah varian dengan penyebaran tercepat daripada jenis lainnya.
Karenanya, jika konsentrasi penyebaran dari semula kurang 100 per hari menjadi rerata ribuan konfirmasi per hari, saat ini terjadi pada populasi terpadat di negeri ini, maka alarm kewaspadaan selayaknya diapungkan lagi bersama.
Jangan sampai semua kelengahan yang membuat kita bersedih seperti pertengahan tahun lalu, terjadi lagi pada pertengahan tahun ini.
Ketiga, masker itu bukan satu-satunya protokol kesehatan. Tapi satu dari banyak protokol yang ditekankan pemerintah (mencuci tangan, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas, dst), sehingga masker bukan panasea alias obat segala masalah pandemi saat ini.
Jika sudah ada kelonggaran, lalu ditambah persepsi panasea tersebut, maka tentu akan sangat menyulitkan kita semua bisa lepas dari pandemi menuju endemi.
Kita sendiri yang paling bertanggungjawab pada nasib dan kelanjutan perubahan status kesehatan tersebut! Maju terus Indonesia-ku, mari bangkit lebih kuat!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.