KETIKA bersilaturahmi dengan Presiden Jokowi di sela-sela agenda ASEAN-US Summit di Washington DC, Amerika Serikat, Mei lalu; ada yang menyita perhatian saya di antara pesan beliau.
“Tidak ada tempat bagi radikalisme di Indonesia,” katanya kalem, tapi dalam, menyiratkan ketegasan untuk tidak bermain-main dalam hal yang satu itu.
Tulisan saya kali ini adalah sebuah refleksi pribadi penuh harapan bahwa suatu hari terjadi rekonsiliasi di antara segenap elemen bangsa.
Mungkin terasa naif. Apalagi muncul pada saat kontestasi politik di Tanah Air marak eksploitasi politik identitas.
Setidaknya gagasan “rujuk” perlu di ketengahkan untuk sekadar mengingatkan bahwa tidak ada yang salah dengan saling mengerti, tidak saling usil, dan sama-sama menjaga kerukunan.
Saya besar pada era Orde Baru. Meskipun sejarah mencatat pemerintahan Presiden Soeharto sebagai masa penuh represif, ada kalanya justru saya rindukan. Terutama ketika isu suku, agama, dan ras (SARA) kerap menjadi sumber kegaduhan.
Maksud kalimat di atas jangan diartikan sebagai “saya pendukung Orba”. Tapi bagaimana isu-isu yang menimbulkan kegusaran di masyarakat dengan cepat “ditekan” pemerintah. Termasuk isu SARA. Makanya saya kangen saat-saat itu.
Bisa dibilang, saya sendiri adalah studi kasus paling nyata tentang kiprah Soeharto mengeliminasi isu pembuat gaduh.
Sebagai keturunan Tionghoa, saat itu saya nyaris tidak pernah punya masalah dalam keseharian.
Dalam arti, saya menjalani kehidupan normal layaknya orang-orang, apa pun suku dan latar belakangnya.
SARA baru menjadi sesuatu yang harus saya perhatikan justru pasca-Mei 1998. Kerusuhan yang berbuntut lengsernya Presiden Soeharto turut mengangkat isu rasial.
Laporan media massa saat itu menceritakan sekian banyak orang keturunan Tionghoa memilih ke negeri tetangga ketimbang jadi korban. Toko dan rumah mereka dijarah. Ada juga yang dibakar.
Media Tempo memberitakan bagaimana isu rasial berkembang cepat: dugaan bahwa etnis Tionghoa menjadi penyebab krisis moneter mengisi ruang kecurigaan antarwarga.
Kalau memang peristiwa demi peristiwa yang memakan korban dan biaya dianggap sebagai ongkos demokrasi, sungguh tidak sepadan dengan rasa sakit yang terus mengucur. Hingga kini. Apalagi proses untuk menjadi demokrasi yang kokoh terus berjalan.
Dan saat ini, isu SARA malah masih terus dimainkan. Contoh paling membekas dan masih berlanjut ekornya sampai hari ini adalah pemilihan gubernur Jakarta pada 2017 dan berlanjut pada pemilihan presiden 2019.