JAKARTA, KOMPAS.com – Komnas Perempuan mengapresiasi pemberian hak-hak keibuan bagi buruh perempuan yang dianggap cukup progresif dalam Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang kini sedang digodok di parlemen.
Namun demikian, Komnas Perempuan mengingatkan adanya potensi bahwa hal ini justru bisa menghambat perempuan dalam memperoleh lapangan pekerjaan ataupun mengembangkan karier, karena faktor perusahaan.
“Pengaturan tersebut dapat berpotensi menjadi penghambat hak bekerja perempuan yang juga dilindungi oleh undang-undang,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (23/6/2022).
Baca juga: Plus Minus Cuti Melahirkan 6 Bulan seperti Usulan dalam RUU KIA
Komnas Perempuan berharap, DPR RI memastikan korporasi untuk tunduk pada aturan, termasuk tidak melakukan pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen.
“Perlu dilengkapi dengan langkah afirmasi tambahan untuk memastikan pengambilan cuti ini tidak akan mempengaruhi kesempatan pengembangan karier,” ujar perempuan yang akrab disapa Yeni tersebut.
Yeni mengingatkan, seandainya RUU KIA disahkan sebagai undang-undang, negara harus mempertimbangkan keadaan di mana perusahaan tertentu mungkin tak sanggup melakukannya, meski bersedia untuk menerapkannya.
Baca juga: Hippi soal Wacana Cuti Melahirkan 6 Bulan: Psikologi Pengusaha Harus Dijaga
Menurut Komnas Perempuan, penerapan RUU KIA kelak membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan mensyaratkan pengawasan yang ketat, mengingat berbagai pelanggaran yang terjadi terhadap UU Ketenagakerjaan selama ini.
Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga dikonfirmasi oleh Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia.
Undang-undang itu mengatur bahwa durasi cuti tersebut selama 3 bulan.
Tetapi, Aspek Indonesia menyebut bahwa fakta di lapangan menunjukkan 90 persen buruh perempuan hanya diberikan cuti hamil/melahirkan 1,5 bulan.
Rata-rata dari mereka menolak untuk diadvokasi supaya memperoleh haknya secara utuh, lantaran khawatir hal itu bakal membuat mereka kehilangan pekerjaan atau diganggu kariernya.
"Sehingga laporannya hanya lisan saja," ujar Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, Rabu (22/6/2022).
Baca juga: Asosiasi Serikat Pekerja Sebut Cuti Melahirkan 6 Bulan Tak Bikin Perusahaan Rugi
Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada tiga tahun terakhir, sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan.
Kasus-kasus tersebut setidaknya melibatkan 4 perusahaan yang melanggar hak maternitas pekerja perempuan dengan mengorbankan ratusan pekerja perempuan, termasuk di antaranya pemutusan hubungan kerja karena hamil dan melahirkan.
Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan mendapati laporan 18 buruh perempuan keguguran yang diduga karena kondisi kerja yang buruk.
Mirah mengapresiasi upaya DPR menambah durasi cuti hamil menjadi 6 bulan, menyebutnya progresif dan ideal bagi keperluan buruh perempuan, namun di saat yang sama mengaku tak begitu yakin perusahaan-perusahaan bakal menerapkannya secara konsekuen di lapangan.
"Faktanya banyak juga perusahaan yang tidak memberikan upah sesuai UMP," kata Mirah memberi contoh.
Baca juga: Pengusul RUU KIA: Cuti Melahirkan 6 Bulan Justru Tingkatkan Produktivitas Ibu Bekerja
Menurutnya, Indonesia memerlukan waktu supaya beleid yang progresif semacam ini dapat diterapkan dengan baik seperti di negara-negara Eropa.
"Karena lagi-lagi orang kita butuh pekerjaan. Pasti di lapangan ada banyak negosiasi. Kemungkinan juga teman kita karena sudah terbiasa, pekerja keras, terbiasa 1,5, bulan, kalau diberikan cuti 6 bulan, sepertinya sungkan," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.