Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Sekolah Demokrasi Belanda: Mempersiapkan 2024, Mengawal 2045!

Kompas.com - 20/06/2022, 10:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Prolog

SETELAH dua setengah jam mengudara, kabin di dalam pesawat yang saya tumpangi dicengkram hening. Semua penumpang terlelap usai makan siang.

Saya periksa monitor, masih dua jam sebelum pesawat tiba di Amsterdam. Dari peta di monitor dapat saya lihat bahwa kami tengah melintas di atas Austria setelah sebelumnya melintasi Jerman, negerinya Kant dan Habermas, dan Yunani di mana Socrates dan Plato pernah hidup.

Ini adalah penerbangan internasional pertama saya setelah lebih dari tiga tahun. Pandemi yang panjang adalah salah satu alasannya.

Namun tidak hanya soal pandemi. Barangkali karena usia, atau hal lainnya, saya mendapati naik pesawat dan melakukan perjalanan panjang tidak lagi membuat saya antusias.

Tak seperti semasa menempuh studi doktoral dulu, perjananan Jakarta-Amsterdam atau sebaliknya adalah hal biasa selama enam tahun.

Juga tak seperti saat studi master di mana perjalanan lebih dari 24 jam antara Jakarta dan Amerika menimbulkan antusiasme.

Selama belasan jam di pesawat tidak banyak yang bisa saya lakukan. Perlahan saya merasa seperti terkondisi dalam satu refleksi “by default”.

Pada sepuluh jam pertama, semua hal rutin keseharian melintas di pikiran: diskusi kelompok terarah tentang peta jalan demokrasi yang mestinya saya hadiri, rutinitas mengajar dan melayani kosultasi mahasiswa, dan berbagai rutinitas lainnya baik di LP3ES maupun di UNDIP yang seakan tak ada habisnya.

Membuka dan membalas pesan melalui telepon genggam, atau aktivitas melalui internet terjadi setiap jam, bahkan setiap menit. Lalu secara tiba-tiba semua itu berakhir.

Seiring dengan pesawat yang kian lama mengangkasa, perlahan saya mencoba mengingat-ingat tujuan saya melakukan perjalanan ini.

Tak seperti masa studi doktoral dulu di mana setiap penerbangan punya satu tujuan spesifik: menyelesaikan disertasi, perjalanan kali ini memiliki tiga tujuan: memenuhi undangan menjadi peneliti tamu di KITLV Leiden, menghadiri undungan konferensi di Paris, dan menyelenggarakan sekolah demokrasi.

Jika dua aktivitas pertama adalah tentang riset dan diseminasi hasil riset, maka kegiatan terakhir adalah menyelenggarakan forum dialog untuk membincangkan masa depan demokrasi.

Jika pada dua kegiatan pertama saya hanya memenuhi undangan, maka saya akan menjadi “tuan rumah” pada kegiatan ketiga.

Ya pada sekolah demokrasi kali ini, LP3ES bertekad menyelenggarakan sekolah demokrasi edisi spesial di Leiden, Belanda.

Kegiatan ini dilangsungkan selama tiga hari dari 23 sampai dengan 25 Juni 2022, kerja sama LP3ES dengan KITLV Leiden, Universitas Diponegoro dan PPI Leiden.

Mempersiapkan 2024

Sekolah demokrasi kali ini spesial karena sekurang-kurangnya dua alasan: tempat dan waktu. Dari sisi tempat, SEKDEM kali ini akan dilakukan untuk pertama kalinya di luar negeri, pada tempat yang sangat bersejarah: Leiden, Belanda.

Di negeri jauh ini, imaji awal kita sebagai bangsa mulai bersemi di sanubari, tumbuh sebagai kesadaran, dan terealisasi dalam kenyataan.

Pada SEKDEM di Leiden ini, putra-putri terbaik bangsa, “crème de la creme”, yang saat ini tengah menempuh studi di Eropa akan duduk bersama, mencurahkan pemikiran mereka untuk tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, namun juga melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru lainnya.

Dari sisi waktu, ia dilangsungkan menjelang pemilu 2024 pada saat bangsa didera berbagai persoalan, namun percakapan di ruang publik masih disesaki hal-hal remeh temeh.

Beberapa waktu lalu, ia berupa wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu.

Hari-hari ini, ia berupa perpecahan internal beberapa partai politik karena intervensi kekuasaan, reshuffle kabinet yang entah apa relevansinya dengan persoalan negeri.

Kadang, ia juga termanifestasi dalam wujud jurnalisme pacuan kuda yang menyajikan perkembangan hasil survei elektabilitas capres terkini yang menghasilkan sorak sorai yang riuh, namun sepi akan substansi.

Maka Sekolah Demokrasi kali ini adalah ikhtiar untuk mengubah percakapan menuju pemilu 2024 dan mewarnai ruang publik kita dengan substansi. Di sana akan coba didiskusikan masalah-masalah bangsa, seperti:

Bagaimana mengatasi kemunduran demokrasi di Indonesia? Bagaimana kita bisa menghentikan politik uang?

Bagaimana mengurai problem ketimpangan ekonomi yang semakin menguat dari waktu ke waktu?

Bagaimana menjinakkan oligarki yang terus menerus membajak demokrasi? Bagaimana mengatasi problem gerakan pemberantasan korupsi yang makin melemah dengan semakin melemahnya KPK?

Bagaimana menghadirkan keseteraan gender di parlemen dan eksekutif baik pusat maupun daerah?

Bagaimana menghentikan problem kerusakan lingkungan dan bencana alam yang makin sering terjadi?

Setelah mendiskuskan pertanyaan-pertanyaan di atas, juga pertanyaan penting lainnya, bolehlah kita kemudian bertanya tentang: sosok pemimpin dengan kualifikasi seperti apa yang mampu mengatasi problematika di atas?

Apakah calon-calon yang kini ada di bursa survei memiliki kualifikasi itu? Apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil untuk mendorong kelahiran pemimpin yang bisa menjawab permasalahan di atas?

Betapa menariknya jika diskusi menjelang pemilu diwarnai oleh hal-hal di atas.

Mengawal 2045

Namun sekolah demokrasi Belanda tidak hanya tentang persiapan pemilu 2024, namun juga ikhtiar untuk merumuskan peta jalan menuju demokrasi terkonsolidasi di 2045.

Selama lebih dari setengah abad, LP3ES telah berkomitmen untuk mengawal demokrasi di Indonesia.

Memang ada masa di mana lembaga yang telah melahirkan banyak nama besar ini mengalami semacam “mati suri”, namun ibarat pohon tua yang meranggas namun akarnya telah menancap ke bumi sesungguhnya ia tak pernah benar-benar mati.

Setidaknya sejak 2019 ia mencoba kembali mewarnai. Selama empat tahun terakhir, telah ada ratusan diskusi tentang berbagai ihwal demokrasi yang diadakan baik secara luring maupun daring.

Tak hanya itu, kajian serius tentang demokrasi juga dilakukan yang telah melahirkan setidaknya 4 buah buku: Menyelamatkan Demokrasi (2019), Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi (2020), Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik LP3ES (2021), dan Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil (2022).

Jika keempat buah buku itu disatukan, maka telah ada lebih dari seribu halaman kajian LP3ES tentang situasi terkini demokrasi di Indonesia.

Dalam hal ini, buku ketiga patut mendapat catatan khusus, karena ia melibatkan lebih dari 100 ilmuwan sosial politik dalam penulisannya.

Buku itu berawal dari webinar mingguan LP3ES dari Oktober 2020 hingga Juni 2021. Selama kurun waktu itu, telah ada sekurangnya 136 ilmuwan sosial politik dari seluruh dunia yang telah bergabung dan mendiseminasikan pemikiran mereka kepada publik secara luas.

Dari sekian ratus nama, 77 di antaranya telah menulis satu kontribusi sesuai dengan kepakaran masing-masing dan membuahkan bunga rampai setebal hampir 1.000 halaman.

Buku ini membahas semua persoalan demokrasi dalam berbagai aspek: struktur, institusi, agensi, budaya, hingga isu-isu terbaru yang jarang dibahas ketika kita membicarakan demokrasi seperti masalah kerusakan lingkungan, kesetaraan gender dan kewarganegaraan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com