Meski demikian, Dian berpendapat kondisi ini pun bisa menjadi serangan balik bagi Jokowi dan para pendukungnya. Reshuffle ini bisa berbalik dikapitalisasi oleh kubu di luar koalisi pemerintah.
Masyarakat sipil pun seharusnya bisa menggunakan momentum ini sebagai uji diri. Sepanjang era kekuasaan Jokowi, kata Dian, terlalu banyak personel masyarakat sipil yang terbujuk masuk ke pemerintahan.
"Bahkan ketika ada wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan Jokowi, tidak banyak civil society yang angkat suara. Sekarang adalah titik nadir civil society," kecam Dian.
"Bukan berita baik. Jokowi ternyata masih butuh dukungan politik yang besar, tidak cukup yang kemarin-kemarin," ucap Danang, Rabu petang.
Baca juga: Sebelum Borobudur Ada
Menurut Danang, Jokowi ternyata masih butuh dukungan untuk mengeksekusi program-program kerjanya dalam masa bakti yang tinggal kurang dari dua tahun.
Namun, formasi baru kabinet praktis mempertontonkan semua eksekusi program itu bakal tanpa pengawasan formal di parlemen dan pemerintahan.
Danang juga melihat bahwa akuntabilitas pemerintahan Jokowi secara horizontal di antara lembaga-lembaga negara sudah jelas merosot.
"Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) jadi ipar presiden. KPK ada di bawah presiden. Jelas, akuntabilitas horizontal telah diperlemah," tegas Danang.
Baca juga: Muncul Petisi Desak Ketua MK Mundur Usai Nikahi Adik Jokowi
Setali tiga uang, akuntabilitas vertikal juga susut. Polarisasi sebagai imbas kontestasi politik telah menggerogoti akuntabilitas vertikal antara pemerintah dan warga negaranya ini.
"(Sudah begitu), pendekatannya otoriter. Pengawasan masyarakat tidak bekerja dengan baik. Media massa juga melemah karena tantangan teknologi dan bisnis, belum menemukan model bisnis baru di tengah kemajuan teknologi," tutur Danang.
Dengan akuntabilitas horizontal dan vertikal yang melemah, Danang berpendapat tidak hanya kualitas demokrasi yang terancam makin turun.
"Korupsi juga patut diduga bakal makin meningkat, makin berani. (Sebaliknya), pemberantasan korupsi juga malah bisa menjadi instrumen pemerintah untuk mengendalikan oposisi dan atau pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan pemerintah," ungkap Danang.
Lebih jauh lagi, Danang khawatir peta politik terkini akan semakin memuluskan kolusi di lingkaran elite.
Baca juga: Nasib Rakyat, Dipaksa Menonton Drama Kemalasan Partai Politik
Problem klasik masyarakat sipil sampai asat ini masih berputar pada fragmentasi dan keterbatasan ruang lingkup sumber daya. Selain itu, masyarakat sipil yang cenderung punya kekuatan di sisi pengetahuan teknis juga kerap tidak terkoneksi dengan basis massa.
Namun, tutur Danang, terlepas dari banyak masalah klasik ini, dinamika politik tetaplah peluang untuk bisa digunakan masyarakat sipil mendorong perubahan menuju ke perbaikan.
"Sampai merangkul PAN bahkan PBB yang tak punya kursi di parlemen, tampaknya ada kekhawatiran (di Jokowi). Koalisi makin sulit dikendalikan," ujar Danang.
Partai Bulan Bintang (PBB) yang tak punya kursi di parlemen mendapat akomodasi politik besar dari Jokowi dengan penempatan Sekjen PBB Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
Baca juga: Reshuffle Kedelapan Kabinet Jokowi, Pertunjukan Politik dan Pesan Soliditas Kabinet
Menggunakan terminologi ekonomi, perluasan koalisi ini dalam bacaan Danang adalah cara Jokowi untuk mengurangi dominasi pemegang saham lama.
"(Dengan tambahan komponen koalisi) jadi ada delusi (dari pemegang saham lama). Bisa jadi ada problem internal partai penguasa yang lalu melebar juga. Dengan koalisi makin besar, Jokowi makin punya alasan bahwa ada (anggota) koalisi lain yang harus diperhatikan juga (kepentingannya)," papar Danang.